Rabu, November 26, 2008

Krisis Global dan Krisis Kapitalisme (Part 2)

oleh ; *Andrew B.H.L

Dengan paparan tersebut diatas, coba dibayangkan, dengan resiko banyaknya kegagalan pembayaran hutang (default) di pasar sub-prime, maka akan semakin banyak nya properti yang akan dilempar ke pasar properti, sesuai dengan hukum supply-demand, semakin banyaknya persediaan (supply) maka harga properti di pasar properti di pasar properti akan semakin jatuh. Dan jikalau terjadi penurunan di pasar properti, maka bukan saja penyedia layanan hipotek sub-prime yang merugi, tetapi kini semua pihak yang membeli produk produk agunan akan merugi. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang sudah konsumtif, maka pasar akan terus mengambang. Dan pada akhirnya akan menjungkir balikkan keseimbangan ekonomi.
Pada bulan Maret 2007, 25 perusahaan mortgagee menyatakan bangkrut, pada April 2007, New Century,Inc (mortgagee terbesar di AS) menyatakan bangkrut. Disusul kemudian dengan banyak lagi perusahaan yang bangkrut, salah satunya Meryl-Lynch, Lehman Brothers, AIG Groups, Northern Rock (Inggris), dan lain lain. Kepanikan terjadi di pasar, para investor menjual lebih banyak lagi saham demi mengimbangi kerugian, dan diperburuk lagi, tidak hanya menjual produk-produk sub-prime atau yang terkait dengannya, tetapi menjual apapun yang dapat dijual. Inilah yang menyebabkan jatuhnya seluruh harga saham dunia, bukan hanya saham yang terkait dengan sub-prime. Di saat yang bersamaan, bank bank diseluruh dunia (pada umumnya) mendanai pinjaman mereka kepada masyarakat dengan cara meminjam kepada bank lain atau mengumpulkan dari spekulasi di pasar uang. Pinjaman antar bank dilakukan perhitungannya per hari(daily basis) untuk menyeimbangkan pembukuan mereka. Ketika mengetahui bahwa MBS sub-prime juga berada di sektor perbankan, maka banyak pemberi pinjaman menghentikan pemberian pinjamannya. Dan karena banyak bank yang tidak benar benar mengetahui bank mana saja yang terserang krisis sub-prime, maka banyak menolak memberi pinjaman dana cairnya kepada bank lain. Inilah menyebabkan “credit crunch”, suatu kondisi dimana bank-bank mendapati keadaan bahwa tidak tersedianya kredit lagi. Demikianlah kira kira analisa bagaimana terjadinya krisis keuangan yang terjadi sekarang di dunia.
Dalam dunia kapitalisme, sektor finansial-lah yang menjadi mesin penggerak kekayaan. Kekayaan ini tidak serta merta dihasilkan dengan menghasilkan barang nyata, tetapi dengan menyediakan jasa dimana seseorang dapat bertaruh dalam harga berjangka suatu komoditas. Pertaruhannya dilakukan di pasar saham, yang pada awalnya diciptakan sebagai pertaruhan mengenai pergerakan harga saham di masa depan berbanding dengan untung/rugi suatu perusahaan. Indonesia dalam hal ini pun mengadopsi hal ini. Secara langsung pun hal ini berimbas terhadap perekonomian kita. Biarpun episentrum dari krisis ini terjadi di Amerika Serikat, tetapi di Indonesia goncangan nya pun tetap terasa.
Dengan paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
• Dalam kapitalisme, sektor ekonomi non riil (jasa) adalah basis utama ekonomi.
• Dengan sektor ekonomi non riil sebagai badan, maka konsumerisme adalah jantung untuk menggerakkannya.
• Dengan pola berbasiskan permintaan, bukan persediaan kita melakukan trade (perdagangan).
• Pemerintah tidak diizinkan untuk melakukan intervensi dalam hal apapun mengenai ekonomi, karena itu diklaim akan ”mengotori” kebebasan dalam ekonomi.
• Pemerintah tidak bisa melakukan proteksi terhadap produk dalam negeri dan selalu mengabaikan pasar domestik karena dianggap tidak menghasilkan profit yang signifikan dibandingkan dengan pasar global.
• Pemerintah Indonesia belum menemukan dan mengembangkan produk produk yang menjadi fundamen dalam perdagangan ekonomi dunia.
• Oleh karena itu, yang menjadi pemain dalam bidang ekonomi kapitalis adalah kaum pemilik modal, karena yang mampu untuk melaksanakan hal itu adalah kaum pemilik modal.
• Kaum pemilik modal akan semakin kaya, dan yang miskin akan selalu miskin dan semakin miskin, karena tidak akan pernah terjadi distribusi kekayaan. Distribusi yang terjadi pun hanya akan terjadi pada kaum pemilik modal tersebut.
Berdasarkan hal diatas, adalah hal yang wajar bagi Indonesia untuk mengubah pemahamannya dalam bidang ekonomi. Indonesia harus menjadikan sektor riil sebagai backbone perekonomian nya. Hal ini tidak hanya akan mengurangi konsumerisme, tetapi akan memicu tingkat produktifitas masyarakat. Produktifitas yang tinggi akan memunculkan produk produk yang akan menjadi komoditi utama dalam perdagangan dunia. Pemerintah dalam hal ini harus memproteksi komoditi yang menjadi basis produksinya ,melalui kebijakan dan program yang nyata. Sehingga yang terjadi adalah distribusi kekayaan yang merata, karena hanya yang bekerja yang akan memperoleh hasilnya, bukan hanya karena semata mata pemilik modal, atau karena dengan spekulasi (spekulan pada pasar saham/derivatif). Jadi Kapitalisme bukan lah jalan menuju kesejahteraan bangsa ini. Apakah sistem ekonomi Syariah? Apakah sistem ekonomi Pancasila? Apakah sistem ekonomi Sosialis? Kita-sebagai bagian dari bangsa Indonesia-harus mengkaji secara ilmiah apakah jalan yang terbaik untuk menuju kesejahteraan, sebagaimana apa yang dicita citakan pendahulu bangsa ini. Satu hal yang harus kita ingat sebagai pedoman dalam menentukan arah atau jalan adalah semuanya demi kemanusiaan.


Struggle for Freedom

*Ketua LMND Bandung

Krisis Global dan Krisis Kapitalisme (Part 1)

oleh ; *Andrew B.H.L

A“La croissance est un folie”

Sebuah coretan anti FED di Lausanne

Kapitalisme secara umum tidak mempunyai definisi yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak. Tapi secara umum dapat dilihat sebagai:

  • sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19 - yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
  • teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran.
  • suatu keyakinan mengenai keuntungan dari menjalankan hal-hal semacam itu.

Dilihat dari sejarah, kapitalisme telah tumbuh dan berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia seperti jamur. Kapitalisme diklaim oleh beberapa pihak sebagai sistem yang terbaik di dunia. Dengan alasan, bahwa kapitalisme telah memberikan apa yang tidak pernah terjadi dalam sistem yang lain; yaitu kekayaan yang sangat besar. Kapitalisme sendiri terus berkembang sampai kepada era milenium ketiga ini. Transformasi atau “perbaikan” terus dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim Kapitalisme ini sebagai yang terbaik, untuk membuktikan kepada dunia, bahwa Kapitalisme adalah yang terbaik. Untuk hal ini, kaum cendekiawan yang sepakat dengan hal ini melakukan berbagai riset, penelitian, dan mengeluarkan buku atau jurnal yang mendukung hal tersebut. Keberhasilan sistem ini dipropagandakan secara luas dan besar besaran keseluruh dunia. Dengan memanfaatkan alat alat produksi yang dikuasai oleh kaum kapitalis, yaitu media. Seluruh dunia dibombardir dengan iklan, yang menunjukkan apa saja yang telah dan dapat dilakukan dengan menganut sistem ini. Maka dengan cepat dan pasti, paham kapitalisme terus meluas dan “diakui” oleh negara negara dunia sebagai yang terbaik bagi mereka.

Apakah memang benar Kapitalisme adalah yang terbaik di Indonesia? Apakah kapitalisme adalah yang terbaik bagi Indonesia?

Sejak lahirnya paham Kapitalisme sampai sekarang, kita sudah melihat bagaimana Kapitalisme ini telah memperlakukan kita. Saya tidak akan membahas secara detail paham Kapitalisme disini, tetapi saya akan mencoba menawarkan sesuatu yang saya harap akan menggugah pikiran dan perasaan dengan kaca mata yang berbeda.

Paham Kapitalisme, mulai berkembang di Indonesia sejak periode 1980-an. Hal ini dibungkus dengan kebijakan paket deregulasi dan debirokratisasi. Paham ini menemukan momentumnya pada saat Indonesia mulai merasakan tanda tanda krisis pada tahun 1995. Dengan merosotnya nilai rupiah, bahkan pernah mencapai nilai tukar 1$ = 16 ribuan rupiah, pemerintah mengundang IMF(International Monetary Fund) untuk memulihkan kondisi perekonomian Indonesia yang pada saat itu sudah sangat kritis. Sebagai syarat pencairan dana talangan IMF, pemerintah Indonesia harus atau wajib melaksanakan patuh terhadap paket kebijakan Konsensus Washington. Konsensus Washington adalah paket kebijakan yang menjadi menu dasar SAP(Structural Adjustment Program) IMF yang garis besarnya adalah:

  1. pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya.
  2. pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan.
  3. pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan.
  4. pelaksanaan privatisasi BUMN.

Kemudian pemerintah Indonesia menandatangani LOI(Letter Of Intentent) dengan IMF, yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, sekaligus memberikan peluang masuknya perusahaan perusahaan multinasional ke Indonesia serta kebijakan privatisasi beberapa BUMN, beberapa diantaranya Indosat, Telkom, PT.Timah, dan Aneka Tambang. Dan hal ini masih terus dilakukan pemerintah Indonesia; walaupun sudah berganti pemerintahan, sampai sekarang, walaupun pemerintah Indonesia sudah ”tidak” bekerja sama lagi dengan IMF. Semenjak Indonesia mengalami krisis moneter yang melanda Indonesia pada medio 1997 sampai sekarang, pemerintah mengklaim bahwa perekonomian Indonesia sudah mulai membaik, dengan menunjukkan parameter parameter yang diklaim dapat menunjukkan nilai nilai peningkatan tersebut. Misalnya, pendapatan per kapita (dengan pola distribusi yang sangat tidak merata, dimana jumlah penduduk Indonesia dengan penghasilan dibawah 1 juta rupiah hampir 50% nya), peningkatan investasi di Indonesia(dengan fakta bahwa hampir setengah investasi yang ada di Indonesia adalah asing dan dengan kontrak kontrak yang tidak transparan), jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (dengan definisi kemiskinan yang sangat rancu, versi Indonesia dan versi PBB), dan lain sebagainya. Jadi ada perbedaan pandangan yang sangat mendasar antara pemerintah dan masyarakat dalam segala hal. Mulai dari definisi, sampai pada tingkat pelaksanaan. Hal ini sangat tidak baik, karena masyarakat dan pemerintah seharusnya bekerja sama.

Beberapa waktu yang lalu, bapak presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato mengenai krisis yang sedang melanda Indonesia. Bapak presiden mengatakan (kira kira seperti ini), bahwa bangsa Indonesia tidak akan mengalami dampak yang terlalu signifikan, dan krisis yang terjadi sekarang adalah tidak sama dengan krisis yang terjadi di masa lampau (1997-1998), dan oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak perlu panik menghadapi hal ini. Dan pemerintah akan selalu memonitor perkembangan pasar dan akan mengambil langkah langkah yang dianggap perlu untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia. Tapi sebenarnya apa yang terjadi pada krisis tahun 2007-2008 ini?.

Ada ahli yang mengatakan bahwa ini adalah sebuah siklus 10 tahun-an. Ibarat penyakit, ini adalah sakit yang kambuhan dengan periode 10 tahun, mungkin adalah analogi yang tepat untuk menggambarkan pernyataan ahli ekonomi tersebut. Ini berarti krisis seperti ini adalah hal yang biasa dalam sistem perekonomian, kesimpulan yang saya tangkap adalah krisis ini adalah permanen terjadi setiap 10 tahun. Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa ini adalah akibat dari tindakan tindakan dari beberapa individu (pelaku pasar) untuk meraup keuntungan, dan membuat pasar tidak seimbang. Banyak ahli yang mengatakan krisis ini disebabkan oleh krisis kredit atau ”credit crunch” (versi beberapa media internasioanal) yang muncul pada awal Agustus 2007. Hal ini menyebabkan hilangnya kepercayaan investor atau nasabah terhadap pihak perbankan. Ini kemudian memicu terjadinya krisis likuiditas atau liquidity crisis. Beberapa ahli menganalisa hal ini disebabkan oleh krisis sb-prime mortgage. Dengan menjadikan sistem ekonomi tidak lagi berbasiskan persediaan melainkan permintaan, menggunakan sektor jasa sebagai badan ekonomi maka yang menjadi jantungnya adalah konsumen. Oleh karena itu, pemerintah (dalam hal ini adalah Amerika Serikat) berusaha mengarahkan masyarakatnya untuk selalu berbelanja dan menghabiskan uang, agar ekonomi nya selalu sehat. Bagian terbesar dari pengeluaran konsumen adalah pembelian rumah dan pembayaran hipotek rumah. Kebutuhan akan rumah ini juga akan memicu kebutuhan yang lain seperti kebutuhan akan furnitur, dan peralatan rumah, dan konstruksi. Jadi sektor ini adalah sektor yang paling menggiurkan untuk digarap oleh para investor. Akhirnya tidak hanya pasar prime (orang yang memiliki skor kredit (FICO) kurang dari 620) tapi pasar sub-prime(kebalikan dari prime) pun digarap. Kenapa? Karena dengan membebani hipotek mortgagor dengan suku bunga yang lebih tinggi daripada suku bunga komersial, akibat semakin besarnya resiko default (gagal bayar), apabila mortgagor gagal membayar, maka mortgagee dapat memperoleh kembali properti yang dijaminkan dan menjualnya kembali di pasar properti yang harganya naik. Tidak puas dengan hal ini, kemudian mortgagee ini menjual piutang piutang ini dengan surat surat berharga dengan bekerja sama dengan perusahaan sekuritas di pasar saham. Dan dengan semakin maraknya pasar ini, maka semakin banyak bank investasi yang menanamkan atau membeli saham ini. Ada 2 tipe investasi yang dilakukan:

  1. menjadi pemilik agunan hutang obligasi (CDO), Collateralised Debt Obligations.
  2. menjadi pemilik sekuritas beragun hipotek (MBS), Mortgage-backed Securities.

Perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah, CDO adalah investasi terhadap cash flow yang terdapat pada aset aset, MBS adalah dimana sebuah bank menjual menjual sebuah hutang sebagai satu produk. Sebagai imbalan dari ongkos pembelian produk tersebut, para pemilik obligasi menerima pembayaran hutang secara teratur. (bersambung)


*Ketua LMND Bandung

Senin, November 24, 2008

Komersialisasi Pendidikan

Feriandri Sinulingga*

Dilatarbelakangi oleh subsidi biaya pendidikan yang tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, beberapa perguruan tinggi dipilih untuk diubah menjadi menjadi BHMN. Selain untuk mengurangi biaya pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, diharapkan PT tersebut dapat menentukan renstra (rencana strategis)nya sendiri. Hal ini dimulai sejak keluarnya PP No.61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negri sebagai Badan Hukum. Sebagai konsekuensinya, PTN sebagai BHMN dapat melakukan usaha apapun untuk memenuhi kas keuangannya.

suasana kuliah

suasana kuliah

Satu usaha yang dilakukan oleh PT adalah USM (Ujian Saringan Masuk). Sejak dari awal USM ini sudah menjadi kontroversi karena hanya dapat diikuti oleh orang-orang yang mampu membayar sejumlah uang dengan nominal yang terbilang besar. Alasan yang sering digunakan untuk membuka USM adalah dana yang besar dari mahasiswa USM akan didistribusikan ke dalam kas dan digunakan untuk kesejahteraan mahasiswa. Alasan yang tidak dapat kita ketahui kebenarannya karena transparansi keuangan pun mahasiswa tidak memilikinya. Selain itu, Rektorat juga menjamin bahwa mahasiswa yang dihasilkan melalui USM setara dengan mahasiswa melalui SPMB. Dengan alasan demikian, sepertinya USM ini membawa dampak positif bagi kelangsungan Pendidikan. Tetapi bagaimana nasib mereka yang mempunyai kemampuan inteligensia tetapi tidak mempunyai kemmapuan financial. Dengan kata lain membeli formulirnya saja dia tidak sanggup apalagi membayar sumbangan yang begitu besar. Nah, sebenarnya disini lah pokok permasalahannya. Maka mereka yang mempunyai uang akan memperoleh pendidikan sedangkan mereka yang tidak mempunyai uang hanya boleh menjadi pengemis dan gelandangan saja.
Dimana peran pemerintah sebagai stack holder Pendidikan? Mereka lepas tangan dan menutup mata melihat kondisi yang terjadi. Maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa orang miskin dilarang sekolah. Hal ini bertentangan dengan tujuan Negara dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (masyarakat). Pendidikan harus dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, pendidikan jangan dianggap sebagai komoditi pasar yang hanya dipandang melalui proses permintaan dan penawaran. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, sehingga pendidikan tidak boleh dibatasi dengan angka-angka.


*Anggota LMND Bandung, Ketua MG-ITB

Senin, November 03, 2008

Bagaimana dan Mengapa Venezuela Akan Mengatasi Krisis Finansial

Martin Saatdjian

ali-rodriguez.JPGTerlepas dari dampak kejatuhan ekonomi saat ini, pemerintah Venezuela telah mengambil keputusan ekonomi penting - bahkan sebelum terlihatnya krisis ini - yang sekarang menguntungkan dan mengamankan ekonomi dari ancaman krisis finansial.

Wawancara baru-baru ini dengan Menteri Ekonomi dan Keuangan, Ali Rodriguez, mengonfirmasikan bahwa ekonomi Venezuela memiliki pengaman yang cukup terhadap efek-efek negatif pelambanan (slowdown) ekonomi yang memukul ekonomi-ekonomi utama di dunia.

Meskipun begitu, Menteri tersebut menekankan bahwa perhatian mendalam harus diberikan kepada evolusi langkah-langkah yang diambil Amerika Serikat dan Eropa untuk mengatasi tantangan terbesar terhadap ekonomi-ekonomi kapitalis barat sejak the Great Depression tahun 1929.

Pengamatan tersebut harus menyertakan dampak krisis terhadap ekonomi riil dan fluktuasi harga komoditas yang masih menjadi sandaran Venezuela.

Penyelidikan singkat terhadap angka-angka dalam tahun 2007 menunjukkan bahwa Venezuela berada di atas kebanyakan negeri-negeri di dunia dan seluruh Hemisfer Amerika (termasuk Amerika Serikat dan Kanada) dalam hal cadangan devisa (international reserves - IR) per kapita terbesar.

Menurut angka tahun 2007, bagi tiap orang yang tinggal di Venezuela terdapat cadangan devisa sebesar $1.300 pada akhir tahun 2007 (total $34 milyar).[1] Jumlah per kapita ini melampaui ekonomi-ekonomi utama di Amerika Latin, seperti: Argentina ($1.141); Brasil ($919), Chile ($1.023) dan Meksiko ($799).[2]

Menurut angka-angka ini, cadangan devisa Venezuela melebihi negeri Amerika Latin kedua dengan cadangan devisa per kapita tertinggi, Uruguay, dengan selisih $113. Jumlah ini, bila dikalikan dengan seluruh penduduk Venezuela (26,4 juta), akan hampir mencapai total $3 milyar.

Jumlah sebesar ini dapat digunakan untuk mengatasi dampak negatif krisis finansial dan Venezuela akan dapat tetap berada pada daftar teratas dalam jumlah cadangan devisa per kapita di Amerika Latin.

Cadangan Devisa Per Kapita (IR/Populasi)
Venezuela $1,300
Uruguay $1,187
Argentina $1,141
Chile $1,023
Peru $932
Brasil $919
Meksiko $799
Bolivia $572
Kolombia $464
Paraguay $362

OPEC dan Kedaulatan Ekonomi

Kebijakan ekonomi independen dan berdaulat Presiden Chavez yang bertujuan untuk menghapuskan neoliberalisme memberikan penjelasan tentang pertumbuhan IR Venezuela. Kebanyakan dari kebijakan ini mendapat kritikan pedas dari media swasta di Venezuela dan afiliasinya di penjuru dunia.

Contohnya, di tengah-tengah harga minyak $8 dolar per barel petroleum pada 1999, administrasi Clinton merasa “dijengkelkan” oleh kunjungan Presiden Hugo Chavez ke negeri-negeri Pengekspor Minyak di Timur Tengah, termasuk Irak di bawah Saddam Hussein, untuk memperkuat OPEC.

Sebelum Chavez, Venezuela adalah negeri yang tunduk pada pengaruh AS dan, dengan demikian, partisipasinya di OPEC diwujudkan dengan mengganggu kesepakatan yang bertujuan mencapai kestabilan dan harga yang adil bagi barel minyak. Kelanjutan kunjungan tersebut, negeri-negeri OPEC menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi di Caracas pada 2000 yang dimonitor dengan ketat oleh Washington.

Selama KTT OPEC, Venezuela mendapat peran kepemimpinan yang penting dalam organisasi ini, sehingga memungkinkannya memainkan peran signifikan dalam mengembalikan harga minyak dari titik terendahnya dalam beberapa tahun belakangan ini.

Dengan begitu, Venezuela mengamankan sumber pendapatan yang vital bagi ekonominya.

Menyusul kebijakan ini, Pemerintah Chavez memulai pembalikkan dari sistem produksi minyak yang paling bejat dan anti-nasional, “la apertura petrolera” (pembukaan petroleum). Dengan membuka sektor petroleum, Perusahaan Petroleum Venezuela (PDVSA) memberikan perusahaan minyak transnasional hak untuk mengekstraksi minyak dengan memberikan porsi yang tak signifikan kepada negara Venezuela.

Skema ini berarti bahwa, walaupun harga minyak sedikit membaik, sebagian besar profitnya mengalir ke korporasi transnasional. Kesepakatan-kesepakatan ini, yang penandatanganannya bertentangan dengan kepentingan rakyat Venezuela, diberikan kepada korporasi transnasional dengan masa berlaku 20 tahun.

Pembukaan petroleum nyaris menjadi privatisasi industri minyak Venezuela di masa puncak neoliberalisme di Amerika Latin. Membalikkan pembukaan industri petroleum Venezuela bukanlah tugas mudah bagi pemerintahan Chavez.

Para analis sepakat bahwa kudeta terhadap Chavez pada 2002 dan pemogokan minyak elitis pada 2002/2003 adalah konsekuensi langsung dari penerapan serangkaian Undang-Undang, termasuk Undang-Undang Hidrokarbon baru yang ditulis atas keputusan Presiden.

Menurut UU yang baru ini, “Kesepakatan Bersama” antara perusahaan minyak transnasional dan PDVSA mengenai produksi minyak, yang ditandatangani pada puncak dibukanya industri petroleum, akan dialihkan menjadi Usaha Campuran (Mixed Ventures).

Skema baru ini akan memberikan Negara Venezuela, melalui PDVSA, partisipasi mayoritas dalam produksi minyak. Juga, pajak dan royalti terhadap perusahaan transnasional akan ditingkatkan.

Merasa tak nyaman akibat keputusan berdaulat yang dibuat oleh pemerintah Chavez, Exxon-Mobil melakukan kekonyolan dengan mengajukan tuntutan terhadap Negara Venezuela pada pengadilan Inggris.

Awalnya, satu dari sejumlah pengadilan ini mengeluarkan keputusan yang berpihak pada Exxon-Mobil dengan menjatuhkan langkah pencegahan membekukan aset PDVSA sebesar $12 milyar; tapi setelah argumen yang dibuat oleh PDVSA diperdengarkan pada 18 Maret 2008, Tribunal Inggris lainnya membatalkan keputusan sebelumnya ini.

Menurut Menteri Energi dan Petroleum Venezuela, Rafael Ramirez, keputusan ini “100% menguntungkan” Venezuela dan merupakan kemenangan atas “pemerasan” korporasi transnasional.

Hasil akhirnya sudah jelas; terlepas dari harga barel minyak, faktanya adalah Venezuela, melalui “re-nasionalisasi” industri minyak, kini memiliki proporsi profit yang lebih besar dari ekspor minyak dibandingkan sebelumnya, sebagian diantaranya dikonversikan menjadi cadangan devisa.

Kontrol Pertukaran Mata Uang

Satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan cadangan devisa adalah Kontrol Pertukaran Mata Uang (Currency Exchange Control - CEC).

Hal yang penting diingat adalah CEC awalnya diterapkan pada puncak ketakstabilan politik di Venezuela yang dipicu oleh kelompok oposisi yang memimpin pemogokan di PDVSA.

Pemogokan ini disertai protes-protes massif dan iklan-iklan TV di media swasta yang memicu rakyat untuk berontak. Produksi minyak dihentikan dan berakibat menghancurkan ekonomi Venezuela dengan tingkat pendapatan yang menurun drastis dan PDB yang berkontraksi.

Ironisnya, Venezuela terpaksa mengimpor bensin.

Namun demikian, setelah sukses mengalahkan upaya kaum oposisi dalam menggulingkan pemerintah dan mengambil-alih operasi PDVSA, Pemerintah Chavez memerlukan penerapan CEC, sebagai langkah untuk menghindari pelarian kapital (capital flight) (sebuah problem yang konsisten dalam ekonomi Amerika Latin). Pemulihan produksi minyak dengan cepat pada 2003, sejalan dengan CEC memungkinkan Venezuela meningkatkan cadangan devisanya dengan cepat.

Media swasta dan pakar ekonomi terus-menerus memberikan tekanan untuk menghentikan CEC.

Untungnya, Pemerintah Venezuela mempertahankan CEC, dengan membolehkan penyesuaian kecil dalam tahun-tahun belakangan ini.

Hasilnya, menegakkan CEC telah memberikan Venezuela pengaman besar di tengah krisis finansial saat ini yang didemonstrasikan sebelumnya dengan pertumbuhan cadangan devisa.

Aspek positif CEC lainnya adalah harga dolar AS tetap dipatok untuk periode yang lama terlepas dari tingginya tingkat inflasi yang dicatat oleh ekonomi Venezuela dalam tahun-tahun sebelumnya [3]. Maka, bila krisis finansial semakin mendalam dan harga minyak jatuh, devaluasi kecil terhadap Bolivar (mata uang Venezuela), berikut pembelanjaan ketat (austerity spending) dalam tahun fiskal berikutnya dan langkah-langkah serupa lainnya akan memberikan Venezuela mekanisme pertahanan yang cukup, meskipun tanpa menggunakan cadangan devisa, untuk mengatasi krisis finansial.

————–

Martin Saatdjian ialah Sektretaris Ketiga dalam Kementerian Luar Negeri Republik Bolivarian Venezuela.

Catatan:

[1] Dalam wawancara yang diberikan oleh Menteri Ekonomi dan Keuangan pada 5 Oktober 2008, ia mengumukan bahwa saat ini cadangan devisa berada hampir pada jmulah $40 milyar.

[2] Informasi diambil dari: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/

[3] Walaupun inflasi relatif tinggi, upah telah meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan inflasi.

_____________________________________

Diambil dari venezuelanalysis.com
Diterjemahkan oleh NEFOS.org