Jumat, September 19, 2008

Memandang kembali gerakan mahasiswa

Oleh: Agus Susanto

Sejak mahasiswa memapankan dirinya sebagai agen perubah dengan alatnya: gerakan mahasiswa. Mahasiswa belum mampu untuk melepaskan dirinya dari mitos tentang peran dan posisi sosial mereka. Hampir semua gerakan mahasiswa paska orde lama muncul akibat dari dorongan atas keyainan terhadap peranan sosial mereka. Namun bukannya berhasil untuk menunjukan kebenaran mitos tersebut, gerakan mahasiswa justru menjadi “alat negara” untuk menghegemoni rakyat. Negara sebagai pihak yang memiliki kekuasaan justru memberi ruang bagi mahasiswa untuk menjalankan peran yang dimitoskan, tidak pernah dan tidak akan diperbolehkan keluar dari mitos tersebut, sehingga rakyat dan mahasiswa semakin meyakini mitos tersebut. Namun semua itu menyebabkan mahasiswa semakin tidak mampu mengidenfikasikan peranan dan posisi sosial mereka.


Bahwa mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan sosial-politik dalam negeri merupakan sebuah perndapat yang sudah dianggap sebagai kebenaran dan kemudian diamini oleh hampir semua kalangan. Berbagai peristiwa sejarah telah menjadi “saksi” dari peran pening mahasiswa ini. Para elit politik di negara-negara dunia ketiga tidak pernah lupa untuk melibatkan mahasiswa dalam proses-proses pengambilan kebijakan negara, meskipun pelibatan ini jarang dilakukan secara formal namun ketelibatan ini tidak bisa dipungkiri terutama untuk kebijakan yang merupakan isu yang mudah dijadikan komoditas politik. Sejak seseorang masuk dalam sebuah institusi pendidikan tinggi, mereka disambut oleh proses yang mebuat mereka yakin tentang betapa pentingnya peran mereka untuk bangsa ini, bahwa mereka mempunyai tugas khusus yang disandangnya sejak mereka menerima gelar sebagai mahasiswa.

Peranan yang sudah dianggap kebenaran oleh asyarakat masih layak untuk dievaluasi ulang, karena toh “kebenaran umum” belum tentu merupakan Kebenaran. Kebenaran umum seringkali merupakan sekedar kepercayaan belaka yang tidak memiliki dasar apapun untuk dianggap sebagai kebenaran. Sebagaimana dengan proses yang dialami kelompok lain dalam masyarakat, peran mahasiswapun merupakan hasil dari proses dialektika dari kondisi sosial yang melingkupinya dan kehendak subyektif dari pelakunya. Oleh karena itu marilah kita menglihatnya kembali dari kedua aspek tersebut.

Tentang Mahasiswa

Siapakah mahasiswa? Sejak kapankah mahasiswa memainkan perannya dalam perubahan politik? Mungkin pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah, dengan menyatakan bahwa mahasiswa muncul bersamaan dengan munculnya pendidikan tinggi di Indonesia, lebih tepatnya pada masa Hindia Belanda, dan peranan mahaiswa merupakan “anugrah” yang diperoleh akibat posisi seseorang sebagai mahasiswa, bahwa peranan itu melekat dalam identitas mahasiswa. Hal ini seringkali menajdi keyakinan di dalam diri mahasiswa. Dalam kenyataannya identitas dan peranan mahasiswa tidaklah muncul bersamaan dengan munculnya pendidikan di Indonesia. Mahasiswa, baik nama maupun peranan politiknya muncul dan membesar bersamaan dengan tahun-tahun berakhirnya orde lama. Pada tahun-tahun itulah baik nama maupun ide tentang peranan mahasiswa mulai terbentuk. Daan pada saat yang sama kekuatan mahasiswa mulai mengeksklusifkan dirinya dari masyarakat, mahasiswa yang sebelumnya merupakan bagian dari kelompok yang disebut sebagai pemuda. Proses perubahan (pengeksklusifan) ini ditangkap dengan baik oleh Lombard dalam kajiannya tentang perubahan sosio-budaya di Indonesia. Proses tersebut dideskripsikan olehnya sebagai berikut:

…[S]ejak 1960-an, kata pemuda mulai menghilang sedikit demi sedikit dalam pembicaraan politik dan digantikan oleh kata mahasiswa. Kenyataan tersebut tampak jelas ketika dalam konflik-konflik 1965-1967, anak-anak muda dari kalangan berada yang belajar di universitas-universitas, khususnya yang di Bandung, makin jelas di mata pendapat umum dan penguasa sebagai “kelompok fungsional” yang relatif kuat…[meskipun] realitas yang dicakup mahasiswa mungkin sangat terbatas—karena hanya sebagian kecil pemuda yang memiliki kesempatan untuk masuk universitas.

Aksi-aksi yang bermunculan pada perode konflik itulah yang berjasa dalam membesarkan nama mahasiswa. Meskipun demikian, mahasiswa paska gerakan ’66 selalu mereferensikan diri kepada peristiwa-peristiwa bersejarah pada masa sebelumnya. Peristiwa-peristiwa bersesejarah ini sering kali digunakan sebagai sumber legitimasi dari gerakan yang dibangun oleh mahasiswa, sebuah legitimasi bahwa mereka adala agen perubah—agent of social change. Peristiwa sejarah yang dimaksud adalah peristiwa kebangkitan tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Kedua peristiwa ini sebenarnya adalah proses perjuangan yang dimotori oleh pemuda, bukan saja oleh kelompok mahasiswa—golongan termasuk dalam himpunan pemuda—secara ekslusif. Sebuah perjuangan yang dimulai dari munculnya kesadaran “identitas bangsa” sampai kepada perjuangan fisik. Sehingga proses menuju revolusi kemerdekaan tersebut sebenarnya merupakan “Revolusi Pemuda” bukan Revolusi Mahasiswa.
Selanjutnya setelah tahun 1965, para mahasiswa semakin terbuai dengan persepsi bahwa dirinya adalah seorang agent of social change. Konsepsi ini sebenarnya juga direstui oleh orde-orde yang berkuasa karena mereka tahu bahwa ada paradoks yang terbentuk dalam gagasan tersebut dengan kenyataan gerakan yang dibangun oleh mahasiswa. Secara sosiologis, agent of social change memiliki dua aspek yaitu adanya agen aktif perubahan (agent of change) dan proses perubahan sosial (social change). Menurut Selo Soemadjan perubahan sosial berarti segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyaratan (social institutions) di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalm masyarakat. Sementara agen perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang kemudian berfungsi untuk memimpin masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Disini terlihat jelas bahwa ada dua aspek yang dapat menunjukan keberadaan agent of social change yaitu keberadaan perencanaan dari perubahan sosial tersebut dan kebersatuan dengan masyarakat dalam proses perubahan tersebut. Kenyataan dalam gerakan-gerakan mahasiswa yang terbangun selama ini tidak menunjukan indikasi keberadaan kedua aspek tersebut. Gerakan mahasiswa selama ini lebih merupakan gerakan “moral” untuk mengkritik penguasa daripada sebuah gerakan sosial politik yang mempunyai konsep tentang perubahan sosial yang terarah. Sehingga pada akhirnya peran sebagai agent of social change ini tidak lebih dari sekedar mitos belaka. Suryadi pada tahun 1991 oenah mengingatkan bahwa:

[M]ahasiswa tetap terpanggil buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga ”peran sosial” yang dipersepsikan mahasiswa tetap hadir dalam diskursus-diskursus politik. Jadi, singkatnya, yang terjadi pada tingkat gagasan adalah adanya pertarungan antara peran yang diinginkan Negara dengan peran yang diinginkan mahasiswa. Yang disebut terakhir ini sering dipersepsikan secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga menjadi legenda, yakni bahwa mahasiswa adalah agent of social change…walaupun demikian gagasan itupun tidak pernah “dimenangkan” oleh mahasiswa.


Disisi lain, pemakaian nama mahasiswa semakin menunjukan usaha kaum elit terpelajar ini untuk memisahkan diri dan menciptakan kelas yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Kata mahasiswa terdiri dari kata siswa yang mendapat awalan maha. Maha sendiri menunjukan sebuah kondisi ketakhinggaan, sebuah kondisi yang tidak dapat dijangkau oleh sifat-sifat yang biasa, menunjukan sebuah ketakterjangkauan. Dengan memakai identitas mahasiswa, kelompok terpelajar ini sudah mengambil jarak dari rakyat dan seolah-olah mengatakan bahwa kami tidak mungkin terjangkau (dengan mudah) oleh kalian (rakyat kebanyakan). Memang identitas mahasiswa ini menunjukan tingkat “kebangsawanan” mereka, sebuah penegasan atas “tujuan pendidikan” yang dibangun pada jaman Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan mahasiswa merasa memiliki kelas tersendiri dalam masyarakat, meskipun dalam kenyataannya kelas yang terbangun itu cenderung semu karena seseorang hanya mempunyai kurun waktu yang pendek saat menjadi mahasiswa. Semua ini semakin memperkuat anggapan bahwa peran mahasiswa sebagai agent of social change tidak lebih hanyalah mitos.


Universitas

Universitas sebagai lembaga pendidikan memiliki pengaruh yang penting terhadap persepsi mahasiswa tentang dirinya. Secara sosiologis lembaga pendidikan merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu (enacted institutions). Tujuan dari lembaga pendidikan inilah yang secara sadar ataupun tidak sadar kemudian diimplantkan kepada mahsiswa. Tujuan dari lembaga pendidikan dapat kita evaluasi dari sejarah pembentukan asosiasi lembaganya sendiri. Sekolah pertama kali di Indonesia (Hindia Belanda) dibangun berdasarkan atas kebutuhan sumber daya manusia untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam negeri. Jabatan-jabatan politik yang sebelumnya diperoleh melalui hubungan pertalian darah, selanjutnya harus melalui sebuah institusi yang disebut dengan sekolah.

Untuk selanjutnya para bupati diangkat oleh Batavia…Mereka tidak lagi tampil sebagai pembesar, tetapi lebih sebagai pegawai pemerintah...[Karena] Pendidikan tradisional para priyayi sudah tidak memungkinkan lagi untuk membentuk calon bupati, sehingga pemerintah Batavia merasa perlu mendirikan sekolah-sekolah khusus, yang disediakan hanya untuk putra-putra para kepala.

Sekolah selanjutnya merupakan institusi penganti institusi tradisional kebangsawanan dengan kata lain sekolah sebenarnya merupakan sebuah “institusi kebangsawanan”. Kondisi ini masih berlaku sampai masa sekarang dimana gelar kesarjanaan sangat dihargai di Indonesia, sangat mirip dengan gelar bangsawan.
Pada tahun-tahun selanjutnya, seiring dengan dijalankannnya politik etis dan pembangunan industri di Hindia Belanda, mulailah dibangun sekolah sekolah untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan tenaga ahli dalam industri. Karakter dan tujuan penddikan yang terbentuk pada masa Hindia Belanda itu selanjutnya diwarisi oleh lembaga pendidikan saat Indonesia merdeka.


Gerakan mahasiwa

Gerakan mahasiswa dipengaruhi oleh proses interaksi antara sebuah konsep tak sadar tentang posisi dirinya yang diturunkan melalui lembaga pendidikan, yaitu sebagai calon pengisi jabatan politik dan ekonomi, dengan konsep yang diperoleh dari pemitosan dirinya sebagai agent of social change. Kedua aspek ini kemudian saling berdilektika dalam perjalanan gerakan mahasiswa ini. Aspek tak sadar yang menjadi motif pendorong seringkali lebih kuat dibandingkan aspek konsep yang cenderung bersifat mitos dan paradoks dengan dirinya sendiri. Keinginan untuk memposisikan diri dalam kekuasaan politik dan ekonomilah yang sebenarnya merupakan dasar dorongan utama atas gerakan-gerakan mahasiswa. Pada sistem otoriter dan korup, jalur untuk menduduki jabatan-jabatan penting secara politik dan ekonomi telah dihalangi oleh sistem itu sendiri. Hanya orang-orang yang direstui oleh pengusa, dalam hal ini bisa berupa orang yang memiliki kedekatan dengan pengusa atau memiliki uang yang cukup untuk “membeli” pejabat yang korup, yang dapat mengakses jabatan-jabatan tersebut. Ketiadaan akses inilah yang menghalangi mahasiswa untuk memmenuhi “takdirnya” sehingga ketiadaan akses ini harus dilawan demi “takdir” mereka sendiri. Sehingga bukanlah suatu hal yang aneh jika dalam banyak kasus gerakan mahasiswa lebih digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan baik dalam ranah ekonomi maupun politik.
Kedua aspek yang bergulat dalam diri mahasiswa ini juga yang dipergunakan oleh penguasa sebuah orde untuk meredam gerakan rakyat, gerakan mahasiswa dipergunakan sebagai alat hegemoni oleh penguasa. Dengan mengamini mitos bahwa mahasiswa adalah agent of social change, dan mempropangandakannya ke masyarakat, maka pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan gerakan-gerakan di rakyat. Karena dengan memposisikan mahasiswa sebagai agen perubah maka rakyat akan dengan sukarela “menyerahkan nasibnya” untuk diperjuangankan oleh mahasiswa sehingga gerakan-gerakan rakyat akan jauh berkurang dan lebih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan sebagaimana kita tahu gerakan mahasiswa lebih mudah dipatahakan. Oleh karena itu selama konsepsi agent of change ini masih kuat melekat di mahasiswa dan rakyat maka gerakan mahasiswa akan selalu menjadi alat negara untuk meninabobokan rakyat.

Sedikit Refleksi

Kegagalan yang berulang kali terjadi pada gerakan mahasiswa (dalam melakukan perubahan sosial) merupakan konsekuensi logis dari kesalahan memposisikan gerkan mahasiswa tersebut di ranah perubahan sosial. Meskipun demikian kesalahan ini bukanlah mutlak kesalahan dari para penggiat gerakan mahasiswa tersebut. Kegagalan-kegagalan ini muncul karena dilema yang muncul dari kedua aspek yang sudah dibicakan sebelumnnya. Selain itu posisi mahasiswa dalam struktur kelas tidak penah memiliki sebuah kejelasan, kalaupun ada sebuah posisi dalam struktur kelas, posisi itupun tidak lebih dari sebuah posisi yang semu karena penetapan posisi ini tidak melalui penganalisaan terhadap relasi-relasi ekonomi dan politik mahasiswa. Kelas tersebut bersifat semu karena semuanya hanya permainan gagasan yang abstrak dengan melupakan basis meterial tempat kelas tersebut hidup. Kelas yang semu ini pun tidak lepas hegemoni penguasa. Penyebab dari kekaburan kelas ini adalah sulitnya melihat relasi-relasi ekonomi dan politik mahasiswa secara jelas.

Ada paradoks dalam batas-batas lokasi kelas dari mahasiswa. Di satu pihak mereka tidak terlibat dalam proses produksi sehingga mereka tidak layak disebut sebagai kelas pekerja. Namun disisi lain mereka hidup dalam lembaga reproduksi kapitalis, universitas, yang memiliki potensi untuk menadi pekerja atuapun kaum borjuis…mahasiswa berada dalam fase pra-kelas dimana mahasiswa merupakan kelompik sosial yang berada pada tahap persiapan kelas khusus, yakni semacam jalur yang berkaitan dengan karier dan profesi di masa depan.

Selanjutnya untuk menghindari kegagalan-kegagalan yang sama lagi mahasiswa harus mengambil pilihan. Jika memang ingin menjadi agen of social change maka mahasiswa harus menetapkan posisinya bahwa mereka harus bergabaung dengan rakyat dan menjalankan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk perubahan sosial yang terarah. Dengan tegas mengambil posisi bersama rakyat bukannya mengekslusifkan diri terhadap rakyat maka mahasiswa dapat merentas jalan untuk mengusung perubahan sosial untuk rakyat. Selain itu reformasi pendidikan mutlak dibutuhkan, tinggalkan semua warisan karater pendidikan dari kolonial belanda ciptakan pendidikan yang membebaskan. Atau mahasiswa mahasiswa memilih untuk mejadi intelektual murni yang tidak berkutat dengan tetek bengek perubahan sosial. Menjadi kalis dari kehidupan nyata dan hidup dalam angan-angan keilmuannya. Atau menggunakan pilihan terahrir, dengan menyatakan secara terbuka kesediaanya untuk digunakan sebagai alat hegemoni negara, dengan cara mempertahankan konsepsi kosong yang hanyalah sebuah mitos.

Ketua LMND Jawa Barat

Minggu, September 07, 2008

Mengenal Analisa Kelas

*Roliv

1. Pengantar

Bagaimana kelas-kelas sosial itu muncul di masyarakat?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dalam diskursus kita mengenai kelas sosial. Pertanyaan ini dapat di stimulus oleh pertanyaan yang mendasar, bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya? Tentu saja jawaban yang wajar untuk pertanyaan ini adalah dengan kerja.

Kerja adalah proses produksi manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhannya untuk mempertahankan hidup dengan menghasilkan komoditas (barang-barang) pemenuh kebutuhannya. Peoses pemenuhan kebutuhan ini mensyaratkan manusia untuk berinteraksi dengan alam sebagai bahan

baku
pemenuhan kebutuhannya, dalam proses pemenuhan kebutuhan inilah manusia kemudian menciptakan alat kerja untuk mempermudah proses produksinya.

Dalam sejarah perkembangan masyarakat pernah dikenal peradaban masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas ini memiliki cirri bahwa produksinya dalam pemenuhan kebutuhan mengikuti kebutuhan seperlunya tanpa surplus melalui pengumpulan komunal dan distribusi komunal secara merata. Corak ini muncul pada awal peradaban manusia dimana corak produksinya masih mengandalkan interaksi langsung dengan alam seperti berburu dan meramu. Corak produksi ini bertahan selama ribuan tahun sampai akhirnya manusia menemukan teknologi pertanian dan munculnya kepemilikan pribadi.

Sisa-sisa dari corak masyarakat tanpa kelas masih dapat dilihat di beberapa daerah di dunia, seperti ; masyarakat Indian di pedalamn amazon atau yang lebih dekat adalah masyarakat pedalaman di papua. Kehancuran masyarakat tanpa kelas ini selain disebabkan oleh pergantian corak produksi juga dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat juga factor perubahan lingkungan dimana manusia dalam corak masyarakat tanpa kelas di masa itu masih bergantung terhadap iklim sehingga kegiatan meramu dan berburu sangat bergantung pada kondusifitas alam sebagai penentu produksi pemenuhan kebutuhan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi alat kerja ini, manusia dapat mempercepat proses produksi dan menambah jumlah hasil produksi sehingga dapat melebihi target pemenuhan konsumsinya. Di sisi lain perkembangan teknologi ini juga meningkatkan ketergantungan manusia kepada alat produksinya. Ketergantungan manusia pada alat inilah yang kemudian menjadi landasan dari sistem produksi manusia. Karena sistem produksi manusia tergantung pada alat maka siapa yang menguasai alat akan menguasai seluruh kehidupan manusia.

Corak masyarakat berkelas sangat erat kaitannya dengan penemuan teknologi pertanian yang lebih efektif dalam percepatan proses produksi dan pertambahan surplus produksi. Sejarah menunjukkan bahwa struktur masyarakat berkelas tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses tahapan yang cepat dalam pemindahan bentuk kepemilikan dan transformasi sistem sosial.

Setidaknya, terdapat tiga penyebab yang saling berkaitan dalam proses pembentukan masyarakat berkelas, yaitu ; produksi yang melebihi target pemenuhan konsumsi (surplus) hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi alat produksi dan kemampuan produksi. Surplus ini telah memungkinkan terjadinya akumulasi terhadap hasil produksi dan kepemilikan indiviu atas hasil lebih itu merupakan kewajaran karena dalam pertanian hasil produksi yang lebih banyak dan konstan daripada berburu namun tidak dapat memberikan hasil yang berulang-ulang oleh karena itu hasil pertanian perlu disimpan.

Fortifikasi, yaitu adalah pembangunan benteng-benteng yang digunakan untuk melindungi surplus. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan hasil produksi dari pencurian dan perampasan dari kelompok masyarakat lain yang belum maju corak produksinya (masyarakat berburu). Fortifikasi juga memacu kemunculan sistem pertahanan teritori dan kehlian berperang melawan ancaman perampasan dari masyarakat di luar komunitasnya dalam bentuk perang. Hal inilah yang kemudian memacu terbentuknya satuan-satuan militer.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan masyarkat berkelas adalah berkembangnya pengetahuan yang efektif untuk mendukung akumulasi pertanian. astrologi dan navigasi. Kemunculan astrologi ini merupakan bagian penting dalam sejarah karena inilah awal mulanya manusia meramalkan keadaan alam melalui perhitungan musim. Perhitungan astrologi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang menetap (inmaden) karena corak pertaniannya mensyaratkan pengelolaan tetap terhadap lahan. Pengetahuan ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat berburu (nomaden) karena corak pemenuhan kebutuhan mereka masih melakukan akumulasi minimal dalam komunal dan tidak membutuhkan ketetapan lahan. Tentu saja perkembangan ilmu ini bukan mengrah pada astronomi yang ilmiah, Penjelasan – penjelasan mengenai gejala – gejala alam yang muncul lebih banyak mengandung mistik dan membutuhkan upacara-upacara simbolik sehingga hanya dimonopoli oleh beberapa orang yang dianggap bijak dan memiliki kemampuan supranatural.

Sistem masyarakat pertanian ini juga merupakan sistem masyarakat yang menetap sehingga membutuhkan pengaturan identitas kewenangan anggota di dalamnya dalam pembagian kerja dan pembagian hasil produksi. Hal ini kemudian yang memunculkan kebutuhan akan consensus-konsensus populasi dan sekelompok msyarakat yang bekerja untuk memastikan pengaturan itu berjalan.

Kebutuhan akan pengaturan inilah kemudin yang membagi masyarakat dalam sistem keluarga yang dilandaskan oleh hubungan kelahiran untuk memudahkan pembagian hasil produksi. Hal ini juga kemudian yang mewajarkan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan hasil lebih produksi.

Sejarah manusia bergerak ketika alat produksi telah menghasilkan cukup banyak hasil sehingga berlebih kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Alat produksi yang telah cukup maju untuk memproduksi hasil lebih ini kemudian menjadi sasaran perebutan antar berbagai kelompok. Kelompok-kelompok yang berhasil menguasai alat produksi ini kemudian memaksa mereka yang tidak memiliki alat produksi untuk bekerja, tidak untuk diri mereka sendiri, melainkan bagi mereka yang memiliki alat produksi itu. Dari pergerakan sejarah inilah lahir kelas-kelas dalam masyarakat. Di sisi lain, distribusi (pembagian) hasil produksi dan pola hubungan produksi secara teknis juga membutuhkan cara pengaturan yang efektif. Cara pengaturan ini kemudian memastikan pembagian hasil ke seluruh anggota masyarakat dan pada akhirnya membentuk kesepakatan-kesepakatan yang menjadi sistem sosial (tata nilai) yang berlaku pada masyarakat tersebut.

2. Konsepsi kelas

Kelas merupakan pengelompokan yang ada masyarakat, meskipun ada juga pengelompokan masyarakat yang tidak menggunakan kelas.

Ada
pengelompokan melalui penggolongan fisik (usia, jenis kelamin dan ras), penggolongan melalui status sosial (agama, kebangsaan dan pekerjaan), ada juga ahli yang mengelompokkan masyarakat melalui penghasilan dan golongan fungsional.

Berdasarkan pembahasan kita sebelumnya bahwa manusia berhadapan langsung dengan alat produksi dan hasil produksinya sehingga segregasi muncul melalui kepemilikan dan penaklukan, pengelompokan melalui penghasilan, status sosial dan golongan fungsional di atas tidak dapat menjelaskan dari mana asalnya kelas-kelas terbentuk dalam masyarakat. Pengelompokan model ini menjerumuskan kita pada pandangan bahwa masyarakat telah terkotak-kotak dan tidak saling berkorelasi. Sekalipun akan ada pandangan mengenai perubahan sosial dalam cara pandang ini yang terjadi hanyalah perbaikan/perubahan secara parsial tanpa memperhatikan dampak-dampak perubahan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh titik landasan analisanya yang lemah. Pengelompokan berdasarkan penghasilan (max weber) bersifat ahistoris karena tidak dapat menjelaskan darimana penghasilan itu muncul sedangkan konsep golongan fungsional (talcott parsons) mensegregasi masyarakat tanpa menjelaskan kenapa segregasi ini muncul.

Begitu juga dengan pengelompokan melalui penggolongan fisik, penggolongan seperti ini tidak memiliki implikasi apapun secara politik karena pengklasifikasiannya lebih bersifat historis daripada natural. Contohnya jika kita memandang penggolongan melalui ras, penggolongan ini lebih merupakan penggolongan sosial daripada biologis. Begitu juga penggolongan dalam gender yang kadang sering dilegitimasi sebagai penggolongan sosial rupanya lebih bersifat biologis.

Secara umum pembagian-pembagian kelas tak berhubungan dengan perbedaan-perbedaan yang alamiah; walaupun memang bisa saja pembagian kelas itu mengelompok ke dalam jenis ras yang sama, kelompok-kelompok etnis yang sama, menerobos garis usia dan jenis kelamin karena kelas terbentuk secara histories mengikuti perkembangan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalm corak produksinya. Oleh karena itu, perkembangan kelas juga tidak berjalan linier dalam perdaban manusia. Perkembngan kelas dalam proses segregasinya membutuhkn syarat pokok segregasi yaitu perampasan hasil lebih.

3. Pembagian kelas

Pembagian kelas dapat dianalisa dari kemunculannya sejak adanya pembagian kerja antar anggota masyarakat yang berkaitan dengan penguasaan kekuatan produksi yang di dalamnya terdapat modal, alat produksi, keahlian produksi dan tenaga kerja. Yang dalam hal ini menghadapkan dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat yaitu kelas berpunya yang memiliki kekuatan produksi (borjuis) dan kelas yang tidak berpunya alat produksi dan menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup (proletariat) sebagai kelas fundamentalnya. Format pembagian kelas yang ada masih menyisakan hal-hal peninggalan corak produksi lama sekaligus menyambung cikal bakal corak produksi yang baru. Keadaan seperti inilah yang mampu menjelaskan keberadaan kelas-kelas non-fundamental.

Jika dikatakan bahwa klasifikasi dapat dilihat dari kepemilikan alat produksi maka secara formal kita juga akan mengalami kesulitan ketika melihat realitas seperti petani yang memiliki tanah seluas 0,8 hektar beserta alat pertaniannya berupa cangkul, bajak dan kerbau. Atau dalam kasus lain di perkotaan terdapat pedagang kaki

lima
yang memiliki panci dan kompor sebagai alat produksinya. Pertanyaannya adalah apakah mereka dapat di klasifikasikan ke dalam kelas borjuis? Bagaimana pula dengan pekerja lepas seperti kuli yang memiliki sekop dan peralatan tukang? Atau buruh yang memiliki warung di rumahnya?

Perlu diperhatikan di sini bahwa persoalan kelas tidaklah tergantung pada sembarang peralatan, namun peralatan-peralatan utama yang dipergunakan untuk memproduksi barang kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Mengapa demikian adalah karena "kelas" adalah kategori yang berada di tingkat pembahasan "masyarakat". Tingkatan masyarakat mencakup lingkup yang luas, karenanya dalam melihat peralatan-peralatan produksi ini kita juga harus melihat pada lingkup yang sama.

Jadi, dengan interpretasi di atas kita dapat mengetahui bahwa buruh tidak bersama-sama memiliki pabrik atau mesin-mesin pabrik, kuli tidak memiliki bersama traktor dan truck semen juga petani yang memiliki lahan sempit tidak memiliki mesin pertanian besar dan surplus produksinya hanya dapat memnuhi kebutuhan subsistennya. Sedangkan kaum borjuasi memilikinya.

4. Kesadaran kelas

Perbedaan relasi kepemilikan ini juga menentukan watak kelas karena merepresentsikan kepentingan kelasnya. Buruh yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja secara terorganisir dengan upah regular meskipun tidak mudah untuk dibentuk, kesadarannya akan mengarah pada watak progresif berupa penguasaan bersama atas alat produksinya dan lebih sulit untuk digoyahkan ketika kesadarannya sudah terbentuk, petani yang memiliki relasi kepemilikan individu terhadapa alat produksinya akan mempertahankan kepemilikan individu terbatas pada lahan dan tenaga kerja terhadap pengelolaan tanah, ini dapat dilihat dari mudahnya petani terorganisir untuk melindungi kepemilikannya atas tanah sedangkan kaum pekerja lepas (sector informal, kuli) yang memiliki posisi yang paling tidak aman dalam sistem kapitalisme akan memiliki perhitungan jangka pendek sehingga ia akan mudah beralih keberpihakannya kepada kelompok mana yang dapat memberikannya keuntungan.

Kelompok lain yang sulit untuk di klasifikasikan kelasnya adalah kaum intelektual, seniman dan produsen jasa. Kaum intelektual memiliki keistimewaan dengan kemampuannya mengkonsepsi perkembangan teknologi sains ataupun sosial, namun karena posisi ini tidak mudah di akses oleh semua orang karena mahalnya biaya yang harus di keluarkan dan Golongan ini jelas tidak secara langsung menjadi bagian dari hubungan produksi.

Mereka menjadi bagian dari kekuatan produksi perusahaan pendidikan yang hidup dari upah. Tetapi, berbeda dengan proletar pada umumnya, kelas ini cenderung pada kepentingan kelas borjuis dan menjadikan

gaya
hidup borjuasi sebagai orientasi

gaya
hidup mereka. Anggota kelas ini, sebagian besar, bersama-sama dengan borjuis kecil dan petani pemilik lahan bisa saja aktif dalam setiap revolusi politik yang hanya mengganti satu golongan borjuis dengan golongan borjuis lainnya, tapi akan menjadi reaksioner dalam revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi secara mendasar karena kepentingan mereka terkait langsung maupun tidak dengan kepentingan borjuis.

5. Analisa Kelas

Analisa kelas digunakan untuk mengklasifikasikan masyarakat dengan memperhatikan relasi produksi atau kepemilikan atas alat-alat produksi utama dalam sistem sosial yanmg berlaku dan atribut sosial sebagai garis demarkasi sosial.

Analisa kelas dapat diopersionalkan dengan memahami konsepsi kelas dan membagi kelas sosial sesuai dengan kepemilikan alat produksinya yang dilanjutkan dengan menentukan watak kelas masyarakat tersebut, juga terlebih dahulu memetakan pergerakan ekonomi politik di daerah tersebut seperti arus modal, corak produksi dominan dan sistem politik yang berlaku.

Dialektika interaksi masyarakat dalam sistem sosialnya juga tidak bisa menetapkan manusia berketetapan dalam satu bentuk kelas dimana ia tergabung didalamnya. Hal yang perlu di perhatikan sebagai prinsip dialektika masyarakat dalam analisis kelas yang menetapkan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek analisis adalah ; bahwa objek selalu dalam proses dan kategori objek merupakan tidak tetap (dinamik).

Dalam pengoperasionalan analisis kelas yang mengandalkan proses corak produksi dalam kapitalisme dipandang sebagai proses dan bukan klasifikasi tetap terhadap objek. Hal ini dapat diambil dari teori marxis tentang proses akumulasi modal.

M (money) – C (commodity) – M’ (money)’

Modal dalam teori ini bukan sekedar uang melainkan juga kekuatan produksi ; alat produksi, tenaga kerja, keahlian, uang. Akumulasi modal merupakan proses berkesinambungan bukannya tindakan ekonomi yang terpisah – pisah. Oleh karena itu analisa kelas harus dapat memahami proses proses interaksi objek dalam kelas dan antar kelas dengan corak produksi dan alat produksinya, analisa kelas juga harus dapat memahami kecenderungan – kecenderungan watak kelas yang muncul dalam proses akumulasi capital.

*Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Wilayah Jawa Barat

Poster LMND

Poster LMND

PrograM Advokasi Rakyat LMND

Dalam kurun waktu tiga bulan ini, LMND melakukan advokasi rakyat miskin, yang dilakukan di tiga desa disekitar jatinangor yaitu desa Jatiroke, Cisempur dan Jatiroke. Advokasi yang dilakukan adalah advokasi pendidikan, kesehatan dan advokasi administrasi kependudukan. Advokasi pendidikan dilakukan untuk memastikan masyarakat miskin bisa mendapatkan pendidikan, karena dengan program BOS yang ditetap kan oleh pemerintah seharusnya masyarakat bisa mengikuti pendidikan tanpa terkendala biaya. Advokasi kesehatan dilakukan untuk memastikan program askeskin yang dicanangkan kementrian kesehatan bisa dilaksanakan secara konsisten, karena pada prakteknya masyarakat miskin yang mengingkan fasilitas askeskin selalu di persulit oleh pihak rumah sakit saat akan mendapatkan pengobatan dan advokasi administrasi kependudukan dilakukan karena adminitrasi kependudukan adalah dasar dari keikutsertaan masyarakat dipemilu dan mendapat Bantuan Langsung Tunai, karena di daerah jatinangor sendiri ternyata banyak masyarakat yang tidak belum mempunyai KTP atau KK, padahal kedua jenis surat tersebut diatur oleh undang-undang agar masyarakat dapat mendapatkan kedua surat tersebut secara gratis. Kesulitan masyarakat adalah dari pungli-pungli saat akan membuat surat-surat tersebut. Selama 3 Bulan ini LMND telah menyelesaikan satu advokasi pendidikan, dan tiga kasus kesehatan di tiga desa tersebut. Reni Reniarti seorang siswa dari SMP Darul Fatwa di desa Jatimukti, yang harus mengalami keterlambatan saat mendaftar ke SMA, karena Ijazahnya ditahan oleh pihak sekolah karena terlambat untuk membayar SPP. Padahal seharusnya ada program BOS yang dilakukan oleh pemerintah yang seharusnya menjamin masyarakat tidak mampu untuk sekolah, oleh karena itu kami dari LMND , melakukan advokasi pembebasan biaya agar Reni dapat mendapatkan ijazahnya agar dapat meneruskan sekolahnya. Pada advokasi kesehatan, kami telah membantu Tarmi yang menderita penyakit beri-beri, istri dari pak darya yang mengalami demam tinggi dan ibu sumiyati yang melahirkan, ketiga orang tersebut mendapatkan pembebasan biaya rumah sakit di rumah sakit daerah Sumedang yang menjadi rumah sakit yang direkomendasikan untuk masyarkat peserta askeskin. Kendala yang kami alami adalah pihak rumah sakit yang cenderung menomor duakan kaum miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, serta saat pengambilan obat di apotik yang dipersulit oleh pihak rumah sakit.
Kesulitan lainnya adalah kekurangan personil dari LMND untuk melakukan advokasi ke masyarakat. Kekurangan ini beakibat lambatnya advokasi yang dilakukan. Oleh karena itu, LMND mengajak kawan-kawan mahasiswa yang ingin membantu masyarakat tidak mampu untuk bergabung dengan relawan-relawan kemanusiaan yang di gagas oleh LMND.

Mahasiswa = agent of change ?

Angga Putra Fidrian*
Selamat datang kawan-kawan mahasiswa baru di Universitas Padjadajaran, Kampus yang bagi sebagian orang adalah kampus perubahan dan menganggap mahasiswa dalah sebuah agen perubahan (agent of change).
Saat kawan-kawan mulai menginjakkan kaki di kampus ini, kawan-kawan pasti mulai familiar dengan katakata agent of change dan mendapatkan ilusi bahwa kita adalah orang-orang yang akan melakukan perubahan nantinya. Perubahan negara ini semuanya adalah atas kendali kita. Saat mahasiswa menginginkan perubahan maka akan terjadi perubahan. Apakah benar demikian? Pertanyaan ini lah yang muncul di benak saya saat memikirkan kembali arti kata agent of change tersebut.
Berdasarkan fakta sejarah yang ada di Indonesia, perubahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peran mahasiswa, peristiwa tahun 66 dan peristiwa tahun 98 bukan hanya karena gerakan mahasiswa, setelah demo yang dilakukan oleh mahasiswa maka ada gerakan dari masyarakat luas untuk menuntut perubahan yang lebih lanjut. Pada peristiwa tahun 98 gerakan rakyat dilakukan dengan aksi-aksi pembakaran, penjarahan dan lain-lain. Gerakan yang sebenarnya memberikan tekanan kepada pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh rakyat untuk menuntut perubahan. Permasalahannya mahasiswa pada tahun 98 tidak mengajak masyarakat untuk ikut bergabung dengan gerakan mahasiswa sehingga terjadi tindakan-tindakan yang brutal dari masyarakat. Seandainya masyarakat bergabung dengan rakyat saat itu mungkin yang terjadi bukan hanya reformasi tapi revolusi yang akan memberikan perubahan mendasar bagi Indonesia. Akibatnya saat mahasiswa tahun 98 di berikan kekuasaan untuk masuk ke parlemen maka mahasiswa-mahasiswa tersebut menjadi tumpul dan rakyat kembali dibodohi oleh pemerintah bahkan oleh orang-orang yang dahulu menjadi orang-orang yang paling vokal menyerukan tentang reformasi. Bahkan pada tahun 66 ternyata mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menggulingkan pemerintahan Bung Karno. Hal ini lah yang harusnya tidak boleh terulang kembali untuk tahun-tahun selanjutnya, mahasiswa harus ikut bergabung dengan rakyat agar memberikan perubahan yang total bagi Indonesia. Mahasiswa harus bergabung dengan rakyat agar rakyat bisa melakukan mengontrol perubahan yang sedang terjadi.
Mahasiswa hanya berperan sebagai pelopor perubahan di belahan dunia manapun, mahasiswa tidak akan merubah apa-apa jika tidak di dukung oleh rakyat luas. Tidak akan ada kemerdekaan Indonesia saat kaum muda memaksakan untuk adanya proklamasi, seandainya masyarakat tidak menginginkan adanya proklamasi, tidak akan ada penggulingan soeharto saat rakyat tidak mau perubahan. Contoh yang kongkrit adalah saat mahasiswa menolak kenaikan BBM pada bulan april lalu. Mahasiswa hanya bergerak sendiri tanpa mengajak elemen masyarakat lainnya, yang ada hanya antipati dari masyarkat terhadap demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa. Coba kita berandai-andai, jika saja saat terjadi demo-demo kemarin, mahasiwa melakukannya
bersama elemen rakyat lainnya, bukan tidak mungkin harga BBM tidak jadi naik, dan orang miskin tidak jadi bertambah di Indonesia.
Ada sebuah pertanyaan yang diberikan kepada kawan-kawan yang akan terjun ke dunia aktivis, apakah kawan-kawan tau, siapakah yang akan kawan-kawan bela? Jawaban yang akan diberikan adalah, orang orang miskin dan orang-orang yang tertindas. Namun tertindas seperti apa inilah yang jadi pertanyaan.
Apakah kawan-kawan sudah pernah melihat penindasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menindas tersbeut, atau kawan-kawan hanya ingin menajdi dewa penyelamat, yang berjuan untuk rakyat tapi tidak kenal dan tidak mengerti siapa yang sebenarnya kawan-kawan bela. Sebenarnya untuk bisa menyelamatkan orang-orang yang tertindas adalah dengan mengenal mereka, beraktivitas bersama mereka, atau saya mengenalnya dengan tiga sama yaitu bekerja, belajar, bertanya sama-sama. Saat kita bergerak dan berjuang bersama-sama mereka maka kita akan menjadi orang yang melakukan perubahan sosial, bukan hanya mahasiswa tapi rakyat Indonesia seluruhnya akan menjadi Agent of Change.

Ketua LMND komisariat UNPAD

PROFIL LMND JAWA bARAT

Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuahorganisasi perjuangan yang bergerak secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM” satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari 1999. Buntunya RMNI (Rembug Mahasiswa Nasional Indonesia) II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999, memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komite aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada 9-12 Juli 1999. Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota. Hingga sekarang pasca Kongres ke IV LMND telah berdiri di 104 kota di Indonesia. LMND Jawa Barat sendiri telah berdiri untuk kedua kalinya setelah perpecahan PRD-PDS di Bandung sejak tahun 2003 lalu yang di mulai dari kampu ITB bandung kemudian meluas ke UNPAD, UNWIM dan UNSIL serta UNIGA pada tahun 2006 LMND Jawa Barat sudah tersebar di 4 kota dan 8 Komisariat Kampus di Propinsi Jawa Barat.

"We Believe Socialism because we Believe in Humanity"