Jumat, Januari 16, 2009

Bedah Buku "Lekra Tak Membakar Buku"


















Jawaban Untuk Prahara Budaya

Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya adalah sebuah pembangunan opini bahwa Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra berdiri, kemudian riwayat Harian Rakjat sebagai corong utama kerja-kerja seniman Lekra, dan lantas satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam bidang sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang.

Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya. Sungguh ini merupakan buku pertama mengenai Lekra yang sangat komprehensif.

Kerja Kreatif Seniman Lekra Di Panggung Kebudayaan

Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.

Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventarisasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange atau Reog Ponorogo beberapa waktu lalu.
Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.

Lekra demikian tegasnya melakukan kerja budaya yang segaris dengan prinsip manipol, menentang keras imperialism dan memberdayakan kebudayaan dari dan untuk rakyat. Kesenian-kesenian pertunjukan yang mulanya hanya dapat dinikmati kalangan terbatas karena kungkungan budaya feodalisme mulai dikembalikan dan dibuka untuk bisa dinikmati rakyat seluas-luasnya. Keprihatinan akan fenomena miskinnya anak-anak kecil akan lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu dewasa tentang cinta-cintaan yang cengeng, mendorong Lekra untuk membahasnya secara serius dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Fenomena ini tak jauh berbeda dengan kondisi nyata jagat musik kita saat ini. Setiap hari di televisi, kita disuguhi anak-anak kecil yang beradu suara dalam lomba menyanyi, dan lagu-lagunya jenis lagu dewasa. Adakah yang peduli?

Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: Bekerja Baik, Belajar Baik, Dan Bermoral Baik.

Di bidang perbukuan, Lekra menunjukkan bahwa pameran buku digelar bukan semata untuk kepentingan bisnis, tetapi juga ideologi. Dalam pameran bisa dilihat siapa saja yang mengikuti pameran dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Disinilah perang ideology propaganda politik melalui media literer itu terjadi.

Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon.

Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa dari lembar-lembar Harian Rakjat tak ada ditemukan bukti-bukti bahwa Lekra secara individu maupun kelembagaan telah mengorganisir pembakaran buku yang mereka tak sukai.
Lekra dan PKI ‘Buku putih’ ini juga sekaligus meluruskan asumsi publik akan posisi Lekra terhadap Partai Komnis Indonesia. Jika selama ini Lekra selalu diidentikkan dengan PKI, maka dua penulis muda ini mencoba memberikan perspektif lain.

Dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya diselenggarakan oleh PKI, Memang banyak seniman-seniman Lekra yang turut terlibat, namun kapasitasnya sebagai individu yang mengaku sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara kelembagaan. Dalam perjalanannya, tak pernah ada nama Lekra disebut-sebut dalam kongres ini.

Tak pernah ada bukti factual bahwa Lekra pernah menjadi underbow PKI secara institusional. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI. Akan tetapi, Lekra juga tidak sepenuhnya bersih dari pengaruh PKI. Lebih tepat jika hubungan Lekra-PKI ini disebut sebagai hubungan ideologis, demikian agumen Muhidin-Rhoma.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini yang cukup mengganggu kenyamanan membaca, kita layak member apresisi pada buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen pelurusan sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.

Selasa, Januari 06, 2009

WATAK KEKERASAN KAPITALISME


“La croissance est un folie”

Sebuah coretan anti FED di Lausanne










Tulisan saya buat menjelang akhir tahun 2008 dan sehari sebelum hari yang sangat ditunggu tunggu oleh umat Kristiani setiap tahunnya. Mungkin beberapa media, baik cetak dan elektronik sudah terlebih dahulu melakukannya, tetapi saya juga tidak malu untuk melakukan ini. Yaitu, sebuah renungan dalam tahun 2008, mengenai apa saja yang sudah terjadi dan dialami oleh bangsa ini. Ibarat refleksi bayangan diatas permukaan air kolam yang beriak, mungkin itulah kalimat yang bisa saya pakai sebagai analogi dari perjalanan bangsa ini selama tahun 2008.

Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, saya memaparkan sebuah kejadian dan dampak yang dialami oleh bangsa ini. Maka dalam tulisan ini, saya mencoba melihat satu sisi yang kelam dari bangsa ini yaitu kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh bangsa ini terhadap sesamanya. Saya bertanya tanya, apakah kekerasan sudah ada dalam DNA bangsa ini. Apakah kekerasan sudah menjadi hal yang lazim kita saksikan dalam kehidupan sehari hari. Atau justru kekerasan adalah kebutuhan kita dalam kehidupan kita. Ini selalu muncul dalam benak saya.

Dalam sejarah yang saya pelajari selama mengecap pendidikan dasar sampai menengah, saya sudah mengetahui bahwa perang sudah menjadi bagian dari sejarah berdirinya negara ini. Tapi yang saya percaya dalam sejarah itu adalah, bahwa bangsa ini berperang dalam konteks untuk mempertahankan sesuatu yang prinsipil dalam kehidupan kebangsaannya, yaitu kemerdekaan. Inilah yang menjadi keyakinan saya sampai sekarang, bahwa kemerdekaan menjadi sesuatu yang prinsipil untuk dipertahankan sehingga kita tidak akan segan untuk mencurahkan air mata, keringat bahkan darah untuk kemerdekaan itu.


Pada masa pra kemerdekaan, bangsa ini melawan penjajah demi kemerdekaannya. Kemerdekaan untuk berbangsa, bernegara. Kemerdekaan untuk mengatur hidupnya sendiri. Merdeka dari segala bentuk penindasan, penghisapan, dan penderitaan. Sehingga para pendahulu bangsa ini tidak akan segan segan untuk mengorbankan apapun untuk itu. Sekarang, pada masa ini, bangsa ini juga sedang mengalami penindasan, penderitaan. Penindasan, yang telah disistemasi sedemikian rupa, sehingga prosesnya berjalan dengan cepat, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Masyarakat harus segera sadar dengan kondisi ini, masyarakat harus berpikir lebih bijak dan bertindak dengan tepat, dalam menganalisa keadaan.

Sepanjang tahun 2008, bahkan di tahun tahun sebelumnya, banyak sekali kasus kasus kekerasan yang terjadi dan masih belum jelas keberlanjutannya. Dari yang dimulai dengan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pemimpin keluarga terhadap keluarganya sendiri, sampai kekerasan yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini terhadap bangsanya sendiri, bahkan untuk yang satu ini dilakukan dengan sistematis dan rapi. Mata, telinga, dan mulut bangsa seolah tertutup, atau ditutup saya tidak tahu, sehingga yang terlihat adalah ketenangan, seolah olah tidak terjadi apa apa.


Dalam dunia kapitalisme, tidak ada yang salah atas nama profit, sehingga yang terjadi adalah hal hal yang tidak bisa dimasuk akal. Atas nama demokrasi, maka Amerika Serikat menginvasi Irak, bahkan rencana selanjutnya adalah mungkin Afghanistan. Padahal yang sebenarnya adalah Amerika Serikat mengincar dan mencoba mengamankan aset asetnya di Irak dan kawasan lain yang berdekatan dengan Irak. Kebijakan ini sendiri dikritisi habis habisan oleh warga Amerika Serikat, tetapi Pemerintah Amerika Serikat tetap menjalankan kebijakan ini. Terkesan cuek, tetapi semua ini dilakukan demi kapital. Hal ini juga saya amati sudah berlangsung sejak lama di Indonesia, tidak identik, tetapi konsep yang sama. Yaitu, atas nama kapital, maka semua tindakan tidak peduli itu benar atau salah di mata hukum (Indonesia atau Internasional), melanggar prinsip bangsa atau tidak, bahkan kesapakatan awal mendirikan bangsa ini pun akan dilanggar, untuk menjaga stabilitas dan perkembangan kapital akan dilakukan tanpa ragu ragu.

Salah satu yang cukup vulgar, adalah pembakaran basis Serikat Tani Riau (STR). Konflik ini adalah konflik yang terjadi antara petani dan pemilik modal yaitu PT. Arara Abadi, salah satu anak perusahaan dari Sinar Mas. Berawal dari konflik kecil, dan berujung dengan pembakaran rumah penduduk. Dalam kronologis1 yang diberikan oleh STR, disebutkan bahwa ini adalah perintah atasan. Dengan bekal itulah, pengusiran, penangkapan bahkan pembakaran seolah olah dilegitimasi untuk dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Media cetak dan elektronik lokal tidak mengetahui penderitaan yang dialami oleh para petani ini. Tidak tahu, atau pura pura tidak tahu, atau dipaksa untuk tidak tahu, saya pun tidak tahu. Tapi saya percaya dengan apa yang telah dilaporkan oleh Serikat Tani Riau dalam catatan kronologisnya. Dalam alam demokrasi (klaim pemerintah mengenai keadaan umum Indonesia), sulit sekali diterima akal bahwa kejadian seperti ini terjadi bahkan luput dari media. Ini adalah bukti dari apa yang sudah saya paparkan sebelumnya diatas. Dan masih konsisten dilaksanakan oleh kaum kapitalis di tanah Indonesia. Bukan tidak mungkin juga, hal ini sebenarnya juga terjadi di belahan lain Indonesia, dan di masa depan juga akan terulang lagi, atau mungkin lebih parah dan vulgar.


Ini yang menjadi watak dari kaum kapitalis, dan secara langsung telah diyakini menjadi watak dari bangsa ini dalam bertindak, karena Indonesia sudah menjadi bagian dari kapitalisme (diakui atau tidak). Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, tidak sedikit air mata dan darah yang ditumpahkan atas nama stabilitas dan perkembangan modal. Dari ujung Serambi Mekah sampai Bumi Cendrawasih tidak luput dari catatan hitam. Kebijakan di semua lini kehidupan bangsa ini, dirombak sedemikian rupa, agar bisa mentolerir kejadian kejadian ini. Politik, ekonomi, hukum, sosial, dan pertahanan dan keamanan adalah bagian bagian yang dirombak dan disesuaikan dengan kemauan kaum kapitalis.


Kekerasan bukan sesuatu yang lazim kita saksikan dalam kehidupan sehari hari. Kekerasan juga bukan suatu nilai yang diwariskan oleh nenek moyang. Kekerasan adalah nilai yang dibuat oleh sistem kapitalisme. Kekerasan merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas dan perkembangan kapital untuk mencapai margin profit yang semaksimal mungkin. Selama bangsa ini masih di dalam dunia kapitalisme, maka kekerasan akan menjadi sesuatu yang akan terus terjadi. Sebuah kesimpulan yang prematur mungkin. Tetapi ini adalah yang saya amati di dunia tempat saya hidup, dunia yang sangat rentan dengan kekerasan.


1Catatan kronologis dapat dilihat di www.papernas.org


Andrew Bonifasius Hero Limbong

(Eksekutif Kota LMND Bandung)

Jika Hiu adalah Manusia

oleh Bertold Brecht

Bertolt Brecht (1898-1956) adalah seorang penyair, penulis, dan sutradara drama teater revolusioner dari Jerman. Berikut ini adalah salah satu cerita pendek yang dia tulis dan terkumpulkan dalam buku “The Stories of Mr. Keuner”.

Tuan K ditanya oleh anak perempuan majikannya, "Jika hiu-hiu adalah manusia, apakah ia akan baik kepada ikan-ikan kecil?"

"Tentu saja," jawabnya. "Jika hiu adalah manusia, mereka akan membuat kotak-kotak besar di laut untuk ikan kecil, dengan bermacam-macam makanan di dalamnya, sayuran dan binatang. Mereka akan memastikan kotak itu selalu berisi air segar, mereka akan membuat bermacam-macam program sanitasi. Contohnya, jika seekor ikan kecil terluka siripnya, akan segera diobati sehingga mereka tidak akan mati dan hilang sebelum menjadi santapan ikan hiu. Supaya ikan-ikan kecil itu tidak menjadi murung, di tempat itu akan ada festival-festival air yang besar dari waktu ke waktu; karena ikan yang bahagia lebih enak rasanya daripada ikan yang murung."

"Tentunya mereka juga akan disekolahkan di kotak-kotak besar itu. Di sekolah-sekolah ini ikan-ikan kecil akan belajar bagaimana cara berenang ke rahang hiu. Mereka harus mengetahui geografi supaya mereka dapat menemukan hiu besar yang terbaring malas di suatu tempat. Subjek utamanya tentu adalah pendidikan moral bagi ikan-ikan kecil. Mereka akan diajarkan bahwa mengorbankan diri sendiri dengan bahagia adalah hal yang paling baik dan paling indah di dunia dan bahwa mereka harus mempercayai para hiu, terutama ketika para hiu berkata bahwa mereka akan menyediakan sebuah masa depan yang indah. Ikan-ikan kecil akan diajarkan bahwa masa depan ini hanya bisa mereka dapat jika mereka belajar kepatuhan. Ikan-ikan kecil harus waspada kepada semua tendensi-tendensi dasar, materialis, egoistis, dan Marxis, dan jika salah satu dari mereka melanggar maka mereka harus segera melaporkannya ke hiu."

"Jika hiu adalah manusia, tentu saja mereka juga akan saling berperang satu sama lain untuk menguasai kotak ikan yang lain dan ikan-ikan kecil lainnya. Mereka akan mengajarkan ikan kecil bahwa terdapat perbedaan besar antara mereka dengan ikan-ikan kecil yang dimiliki oleh hiu-hiu lain. Para ikan kecil ini diberitahukan bahwa ikan-ikan kecil itu bisa disebut bisu, mereka diam dalam bahasa yang berbeda sehingga mereka tidak dapat mengerti satu sama lain. Di dalam peperangan, setiap ikan kecil yang dapat membunuh beberapa ikan kecil lawan, yang diam dalam bahasanya sendiri, akan dihadiahi sebuah medali kecil yang terbuat dari rumput laut dan diberi gelar Pahlawan."

"Jika hiu adalah manusia, tentunya akan ada seni, akan ada gambar-gambar yang indah, dimana gigi-gigi hiu akan digambarkan dengan warna yang indah dan rahangnya menjadi taman yang indah, dimana ikan kecil dapat berlari-lari dengan bahagia. Teater-teater di bawah laut akan menampilkan ikan kecil yang heroik berenang ke dalam rahang hiu dengan antusias, dan musik pun sangat indah mengiringinya, orkestra akan memandunya, ikan-ikan kecil akan bermimpi berenang ke rahang hiu, tertidur dengan khayalan yang paling menyenangkan."

"Agama juga akan ada jika hiu adalah manusia. Agama ini akan mengajarkan bahwa ikan kecil hanya akan memulai hidup yang sesungguhnya di dalam perut hiu."
"Selain itu, jika hiu adalah manusia, ikan kecil tidak akan lagi setara seperti sekarang. Beberapa darinya akan diberikan posisi-posisi penting dan ditempatkan di atas ikan-ikan kecil lain. Mereka yang sedikit lebih besar bahkan akan diperbolehkan untuk memakan yang lebih kecil. Ini disetujui oleh para hiu, dengan begitu mereka akan mendapatkan makanan yang lebih besar. Ikan kecil yang lebih besar dari ikan kecil lain akan menempati pos-pos mereka, akan mejaga ketertiban di antara ikan-ikan kecil, menjadi guru, menjadi perwira tentara, insinyur untuk membangun kotak-kotak ikan, dll."

"Singkatnya, laut hanya akan mulai menjadi berbudaya jika hiu adalah manusia."

Pertanyaan dari Seorang Kuli yang Membaca


Bertold Brecht

Bertolt Brecht (1898-1956) adalah seorang penyair, penulis, dan sutradara drama teater revolusioner dari Jerman. berikut adalah syairnya



Siapa yang membangun Thebes berpintu Tujuh?
Dalam buku-buku kau akan menemukan nama Raja-raja.
Apakah para Raja yang menyeret bongkahan batu?
Dan Babylon, yang berkali-kali dihancurkan
Siapa yang berkali-kali membangunnya kembali? Di rumah mana di Lima,
kota yang bergelimang emas itu, tinggal para kuli?
Ketika malam Tembok Cina selesai dibangun,
kemana para pengukir batu pergi? Roma yang Agung
Ppenuhi dengan pilar-pilar megah. Siapa yang mendirikannya?
Siapa yang ditaklukkan oleh Caesar? Apakah Byzantium, yang banyak dipuji dalam lagu
Hanyalah istana untuk kaumnya? Bahkan dalam dongeng Atlantis
Di malam ketika lautan menelannya
Yang tenggelam masih meraung untuk budak mereka

Alexander muda menaklukkan India.
Apakah ia sendiri?
Caesar mengalahkan kaum Gaul.
Apakah ia tidak memiliki seorang koki dengannya?

Philip dari Spanyol menangis ketika armadanya
tenggelam ke laut. Apakah hanya dia yang menangis?
Frederick kedua memenangkan perang Tujuh Tahun.
Siapa lagi yang memenangkan perang itu?

Setiap halaman dari sebuah kemenangan.
Siapa yang memasak bagi pesta kemenangan Sang Pemenang?
Setiap sepuluh tahun muncul sebuah sosok yang hebat?
Siapa yang membayar tagihannya?

Begitu banyak berita.
Begitu banyak pertanyaan.