Selasa, Oktober 21, 2008

Merekonstruksi Pandangan Penataan Ruang Kota

Rolliv

Pengantar

Tentunya kita sudah terbiasa dengan pemandangan kota-kota besar di indonesia yang selalu menunjukkan dua kondisi yang saling berlawanan. Dimana-mana kita dapat dengan mudah menemukan bangunan-bangunan gedung bertingkat yang modern dengan segala fasilitasnya. Gedung-gedung ini juga berdekatan dengan daerah pemukiman yang terlihat padat bertumpuk-tumpuk pada satu teritorial, di sana juga kita dapat mengakses pedagang kaki lima, warung-warung rokok kecil, pengamen, pengemis dan rumah non permanen dari kardus atau spanduk bekas kampanye partai politik. Semua kontradiksi ini berlanjut sampai ke jalan-jalan di kota, kita juga bisa melihat bagaimana kemacetan memperlihatkan banyaknya mobil pribadi dari yang mewah sampai yang murah, motor, angkutan kota yang berhenti sembarangan, becak, bus berbagai macam jenis berkumpul di ruas jalan yang sempit. Hal lain juga kita bisa lihat dari penggusuran pasar yang berakhir pada pembangunan mall, hipermarket dan outlet ekonomi besar lainnya.
Pemandangan diatas mungkin merupakan pemandangan sehari-hari bagi masyarakat kota di indonesia sehingga mereka tidak mempermasalahkan lagi dampak sosial yang muncul di masyarakat bahkan secara prinsip memisahkan permasalahan tata ruang ini dengan permasalahan sosial sehari-hari yang mereka hadapi. Masyarakat secara luas memang tidak menyadari secara langsung pengaruh dari perubahan tata ruang suatu wilayah terhadap proses interaksi sosial yang berlangsung di daerah tersebut. Namun, kaum intelektual yang dianggap dapat mencerna perubahan ini dan dapat menjelaskannya kepada masyarakat juga rupanya tidak cukup peka terhadap perubahan sosial yang disebabkan oleh penataan ruang ini.
Penataan ruang kota bagi pemerintah adalah mengatur tata letak ruang publik yang bertitik tolak pada estetika dan fungsi ekonomisnya terhadap pemerintah. Tata ruang bagi pemerintah tidak ubahnya hanya permasalahan pembentukan image keharmonisan, keserasian dan keselarasan sebuah pemerintahan teritorial. Pandangan pemerintah ini selaras dengan kepentingan para pengusaha yang ingin mengakumulasi modal engan meningkatkan konsumsi terhadap komoditas yang mereka tawarkan. Seringkali pandangan pemerintah mengenai estetika tata ruang dapat selaras dengan kepentingan akumulasi pemodal dengan kompromi kompromi yang mereka siapkan kepada rakyat dan penguasa politik teritorial. Keselarasan ini bisa kita cermati dalam fenomena pasar modern (hypermart,trade center, mall, dll.) yang membanjiri semua kota pinggiran bahkan aturan tata ruang mengenai pembangunannya pun sangat mudah untuk di reduksi dalam setiap regulasi yang berubah di setiap tahunnya melalui revisi perda RTRW.
Di bagian lain, kaum intelektual sangat berpengaruh dalam perencanaan tata ruang kota. Mereka merupakan ahli-ahli yang menghitung efisiensi dan efektifitas tata letak ruang publik dalam penataan ruang. Mereka seringkali menjadi perencana utama dalam perencanaan tata ruang kota, keahlian mereka inilah yang dibuat sebagai legitimasi bagi pemerintah dan pengusaha dalam menjalankan proyeknya. Hal inilah yang mendasari pelibatan mereka dalam proses regulasi penataan ruang.
Pemerintah, para ahli (kaum intelektual) dan pengusaha cenderung memandang masyarakat sebagai masalah ketimbang sumber penggalian ide maka, pelibatan masyarakatpun diatur seminimal mungkin bahkan tidak dilibatkan dalam proses regulasi. Masyarakat cenderung hanya disosialisasikan ketika kebijakan tersebut sudah diputuskan dan tinggal dijalankan. Posisi masyarakat dalam regulasi sangat lemah, masyarakat hanya berfungsi sebagai penonton proses regulasi dan menerima regulasi sebagai taken for granted dan tidak dapat di pertimbangkan lagi.

Pola regulasi penataan ruang kota di indonesia

Regulasi atau penentuan kebijakan dalam penataan ruang merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam menentukan bagaimana pola pembangunan di sebuah kota. Indonesia Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning yang ketat.
Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.
Pada masa Orde Baru, perancangan dan perencanaan tata ruang kota sangat menekankan arti fisik, top down, serba deterministic dan menomorduakan manusia. Orde baru sangat memuja-muja keseragaman dan simbolisasi kekuasaan dan keharmonisan tanpa memperhitungkan dampak sosial dari penataan ruang meskipun seara fakta meraka juga mengeluarkan peraturan pemerintah no 69 tahun 1996 yang mengatur mengenai partisipasi publik dalam penataan ruang. Sekarang, pada masa reformasi pemerintahan secara bertahap membuka keterlibatan kelompok lain di luar pemerintah dengan menganut prinsi partisipasi publik dalam good governance yang melandaskan diri pada annual report world bank tentang indeks pembangunan manusia.
Konsep ini jika dilihat dari luar merupakan konsep yang sangat terbuka dimana pmerintah yang tadinya menutup ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam regulasi menjadi terbuka dimana masyarakat diberi ruang untuk terlibat dalam proses regulasi. Tentunya bukan dengan demokrasi langsung, karena tentunya pandangan mereka mengenai proses demokrasi hanya sebatas proses formal dan ceremonial sehingga pasti akan menuntut pembiayaan yang besar bagi prosesnya. Lagipula, mereka menganggap bahwa akan terlalu cair dan rumit jika masyarakat dengan berbagai kepentingannya dilibatkan dalam proses perencanaan belum lagi pengetahuan masyarakat akan pengambilan kebijakan sangat minim.
Dengan asumsi ini, pemerintah membatasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan ruang dengan menentukan simpul-simpul masyarakat yang dianggap menjadi representasi masyarakat untuk dilibatkan dalam proses regulasi atau yang disebut oleh pemerintah sebagai stake holder publik. Konsep ini memberikan tiga ruang sesuai pada fungsi yang mereka putuskan untuk melakukan proses regulasi antara lain, pemerintah ebagai pemegang kewenangan pengambilan keputusan, pengusaha/swasta sebagai pembiaya proses regulasi, dan masyarakat sebagai objek regulasi.

Komposisi masyarakat disini diwakili oleh dua wadah yaitu TOGAMAS (tokoh agama dan masyarakat), dan kelompok intelektual yang diwakili oleh perguruan tinggi dan LSM. Anggota masyarakat lainnya yang merasa tidak dilibatkan sudah direduksi dalam bentuk TOGAMAS dan keterlibatan pemerintahan setempat.
Pola ini dianggap sudah efektif dan demokratis dan dalam pandangan idealnya proses regulasi dengan pola ini sangat representatif dan dapat menampung semua aspirasi masyarakat. Namun, dalam kenyataannya semua teori dan bangunan konsep pada dasarnya adalah statis namun dinamika sosial masyarakat sangatlah dinamis. Pola ini tidak hanya tidak mampu menanggapi perubahan sosial tapi juga cacat secara konsepsi. Partisipasi publik yang disarankan Bank Dunia ini sama sekali mereduksi posisi rakyat dan tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, partisipasi publik dalam pola ini sama sekali tidak mampu menampung aspirasi rakyat jangankan menampung aspirasi bahkan merepresentasikan kepentingan rakyat pun tidak, karena partisipasi publik dalam hal ini sebenarnya bukan diabdikan untuk demokrasi dan perubahan sosial rakyat tapi hanya untuk memastikan kemudahan bagi masuknya modal untuk berakumulasi di suatu daerah dan menciptakan ilusi bahwa demokrasi liberal sudah membuka ruang publik untuk mempengaruhi kebijakan.
Jika kita tinjau lagi secara kritis dan ilmiah dengan mengkontradiksikannya dengan prinsip demokrasi jelaslah sudah kepalsuan ini akan terbuka. Partisipasi publik dalam hal ini memungkinkan pemerintah untuk lepas tangan dari pembiayaan regulasi dan membebankan semua pembiayaan regulasi kepada pengusaha yang berkepentingan untuk mengakumulasi modal di suatu tempat. Pemerintah hanyalah jembatan penghubung antara pengusaha dengan rakyat dengan mengambil jalan kompromi yang diberikan kepada rakyat yang akan terkena dampak sosial dari pembangunan.
Posisi pengusaha dalam setiap regulasi semakin menjadi dominan karena sebuah kebijakan tidak akan terlaksana tanpa pembiayaan mereka sehingga pemerintah harus bekerja keras untuk menarik mereka untuk menanam modal di tempatnya. Ketertarikan pengusaha terhadap suatu daerah tentunya tidak pernah dilandasi oleh kepedulian akan kemanusian atau bahkan keinginan untuk membangun suatu daerah sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Ketertarikan pengusaha terhadap suatu daerah tentunya dilandasi oleh kepentingan akumulasi modal mereka, yang mereka pandang adalah sejauh mana teritori tersebut menguntungkan mereka dalam proses akumulasi modal. Jika mereka bertindak sebagai produsen maka mereka akan melihat sebesar apa biaya produksi dapat direduksi di teritorial tersebut, sedangkan jika mereka bertindak sebagai distributor maka mereka akan melihat sebesar apa kemungkinan komoditas mereka akan laku jika dipasarkan di teritorial tersebut, itu artinya hanya janji akan keuntungan dan keuntungan lagi lah yang akan menarik perhatian para pengusaha untuk menanamkan modalnya ke suatu daerah dan karena keinginannya mengakumulasi keuntunganlah mereka akan membiayai regulasi yang akan menguntungkan akumulasi modal mereka di kemudian hari. Motifnya sederhana, setiap eksploitasi yang mereka lakukan dalam akumulasi modal akan berbenturan dengan kepentingan rakyat maka mereka membutuhkan kompromi dengan pemerintah sebagai pemegang otoritas publik untuk mengamankan proses akumulasinya. Jauh mengawang-awang jika kita mengharapkan kapitalisme akan berhenti mengeksploitasi dan memikirkan kemanusiaan.
Sedangkan, posisi masyarakat dalam pola ini sangatlah mengkhawatirkan. Semua posisi demokratiknya dan kepentingannya sudah direduksi dalam perwakilan yang nisbi. Kaum intelektual yang dianggap sebagai representasi masyarakat akan dengan mudah berpihak kepada pemerintah atau bahkan pemodal ketimbang kepada masyarakat umum apalagi masyarakat miskin. Hal ini disebabkan oleh posisi kalum intelektual yang pada umumnya merupakan kelas menengah yang lebih dekat aksesnya dengan kekuasaan ketimbang dengan rakyat. Belum lagi konsep TOGAMAS yang mereduksi semua hak demokratik rakyat, tokoh agama dan masyarakat di tentukan oleh status sosial di masyarakat. Jika dilihat dari logika umum di masyarakat, status sosial di masyarakat sangat di tentukan oleh kepemilikan pribadi (kekayaan) dan akses mereka terhadap kekuasaan.
Kita tidak menafikkan bahwa akses masyarakat terhadap pengetahuan akan proses regulasi sangat minim dan kepentingan masyarakat dalam sistem sosial kapitalisme terutama di kota sudah bergerak menjadi proses individuasi sehingga kepentingannya akan sebuah regulasi pun akan sangat beragam. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami arah pembangunan dan tidak terorganisir sehingga seringkali mudah dijebak dalam kompromi-kompromi ekonomi yang ditawarkan oleh pengusaha melalui pemerintah. Seharusnya permasalahan keterbatasan inilah yang dijawab bukannya malah menjadi legitimasi untuk membatasi keterlibatan masyarakat.

Esensi penataanruang Kota
Kota adalah tempat dimana manusia bermukim, berinteraksi satu sama lain dan mencari penghidupan. Kota mejadi padat karena banyaknya aktifitas interaksi manusia di dalamnya. Dalam pertumbuhannya kota tidak pernah menyusut melainkan akan selalu berkembang meluas dan semakin banyak interaksi manusia disana maka semakin meningkat juga kebutuhannya akan ruang.
Penataan ruang Kota bukanlah sekedar penataan tata letak bangunan dan jalan raya. Penataan ruang disini meliputi dua unsur yang tidak dapat dipisahkan secara prinsip yaitu mengenai dampak sosial dan interaksi manusia yang kemudian membutuhkan ruang bagi prosesnya, tata letak hanyalah menjawab bagaimana kita mengatur ruang itu untuk memaksimalkan interaksi manusia dan mengurangi dampak sosial negatif dari penataan ruang.
Kita dapat melihat contoh yang sangat nyata bagi dampak sosial yang disebakan oleh kesalahan penataan ruang seperti di rubahnya sebuah pasar tradisional menjadi trade center atau mall dimana pasar tradisional yang menjadi basis penghidupan ekonomi masyarakat sekitar tiba-tiba di hilangkan maka akan muncul pengangguran-penganguran baru dan keputusasaan masyarakat setempat yang terlihat dari meningkatnya kriminalitas di daerah tersebut. Kehancuran basis produksipun ikut menyumbangkan permasalahan bagi penataan ruang kota dengan menambah jumlah pengangguran dan maraknya perdagangan komoditas ritel sehingga jumlah pedagang eceran semakin hari semakin banyak melampai jumlah pekerja produksi, hal ini termanifestasi oleh maraknya pedagang kaki lima di kota-kota. Pembangunan yang berwatak kapitalistik pun semakin memperparah kondisi ruang kota, masyarakat tidak lagi memiliki ruang publik yang dapatr diakses secara Cuma-Cuma, kemacetan di jalan-jalan raya yang disebabkan oleh tidak adanya pembatasan jumlah kendaraan dan sistem transportasi yang tidak efektif memperparah kondisi tata ruang kota.
Pemerintah dan kaum intelektual juga seringkali melakukan pembahasan-pembahasan yang melenceng dari penataan ruang yaitu masalah estetika yang di jadikan sebagai prioritas untuk berebut penghargaan kota/kabupaten mana yang paling indah, bersih dan rapih, namun pada kenyataannya kehendak estetika ini seringkali menjadi pembenaran bagi penggusuran pemukiman kumuh tanpa relokasi. Pembahasan mengenai estetika melampaui pembahasan mengenai fungsi ruang sehingga seringkali penataan ruang malah menimbulkan konflik di tingkatan masyarakat. Kebutuhan akan pembangunan pun bukan berasal dari keinginan rakyat melainkan adalah keinginan pemodal yang sama sekali tidak melibatkan rakyat.
Kota bukan hanya menjadi pusat interaksi manusia semata karena interaksi manusia dan konsentrasi manusia pada satu wilayah pasti memiliki motif. Motif inilah yang harus kita pertimbangkan.
Berkumpulnya manusia disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan, kota dalam hal ini telah menjadi tempat yang menarik konsentrasi manusia karena kota merupakan pusat interaksi modal yang bergerak di wilayah produsen bahan baku atau bahan setengah jadi di sekitarnya. Hal ini menyebabkan membesarnya peluang yang tersedia bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya atau dengan kata lain mempengaruhi jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan baik formal maupun informal. Akumulasi modal inilah yang semakin membutuhkan ruang sehingga kota tidak menciut namun makin meluas.
Jika melihat hal ini dapat kita katakan bahwa kota adalah pusat interaksi manusia dalam pemenuhan kebutuhan sehingga efisiensi, efektifitas dan estetika haruslah berkesesuaian dengan fungsi kota itu sendiri. Penataan ruang kota haruslah diprioritaskan untuk menjawab masalah harmonisasi tata letak dan interaksi manusia yang bermukim di kota tersebut dibandingkan dengan kehendak elite pengusaha untuk melakukan akumulasi modal dan kehendak kaum intelektual mengenai estetika.
Dalam pemahaman ini, permasalahan penataan ruang akan bermuara pada dua aspek yang telah kita bahas sebelumnya yatu pada dampak sosial dari penataan ruang dan fungsi dari tata letak ruang yang akan menjamin harmonisasi ruang.
Untuk menjawab dua aspek permasalahan tata ruang ini kita harus menghindari watak akumulasi tanpa fungsi dan membatasi pembangunan dalam artian pembangunan harus dilandasi oleh kebutuhan langsung masyarakat untuk menjamin kesejahteraan mereka. Pembangunan kota dengan landasan tersebut akan membatasi penggunaan lahan dan pendirian bangunan baru yang tidak atau belum diperlukan oleh masyarakat di daerah tersebut.
Pembangunan kota dan penataan kota yang mengabdi kepada masyarakat dapat menghindari penumpukan bangunan tak terpakai karena bangunan hanya akan di bangun dan ditata jika tepat guna bagi masyarakat, pembangunan dan penataan kota juga tidak boleh deterministik dan kaku untuk mengantisipasi pertumbuhan kota dan penduduk sehingga hal yang harus di perhatikan adalah bagaimana pembangunan kota dan penataan ruang kota haruslah berkelanjutan dan dinamis.

Membangun Kota yang Berkelanjutan
Kita sudah dapat mendeskripsikan mengenai bagaimana pola regulasi penataan ruang dan siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai penataan ruang tersebut. Kita tidak dapat mempercayakan penataan ruang kota yang berkelanjutan kepada regulator-regulator yang meminimalisir keterlibatan masyarakat karena hanya masyarakatlah yang mengetahui apa yang dibutuhkan oleh mereka dan apa yang penting bagi mereka. Kota yang berkelanjutan sangat membutuhkan bahkan bergantung pada partisipasi rakyat di teritorial tersebut dalam menentukan apa yang perlu dibangun dan apa yang perlu di tata ulang di teritorialnya sehingga penataan ruang bermanfaat bagi mereka.
Rakyat haruslah dilibatkan dalam proses regulasi penataan ruang secara langsung, keterlibatan ini perlu dijamin dalam wadah yang demokratis dan partisipatoris sehingga semua pendapat dan ide yang menyebar di tingkatan rakyat bisa digali dan di eksplorasi dengan proses yang nyata.
Melihat komposisi keterlibatan rakyat yang sangat minim dalam pola regulasi penataan ruang sebelumnya, hal pertama yang harus kita lakukan adalah merombak posisi keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang dengan mengembalikan proses regulasi ke tangan rakyat. Kita tidak dapat mempercayakan secara langsung hak representatif kepada tokoh agama dan masyarakt tanpa ruang demokrasi di tingkatan rakyat. Artinya, rakyat membutuhkan paradigma representatif baru yang bukan taken for granted tapi paradigma representatif yang berasal dari konsensus rakyat itu sendiri. Seorang atau sekelompok representasi rakyat adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat melalui proses demokratis melalui kesepakatan bersama dan dapat mempertanggung jawabkan penugasannya kepada rakyat yang memilihnya melalui proses demokratis juga.
Proses ini akan mendegradasi legitimasi status sosial dan menggantikannya dengan legitimasi konsensus, entah yang terpilih adalah tokoh ataupun masyarakat biasa asalkan mereka terpilih secara demokratis melalui konsensus rakyat dan dapat mempertanggung jawabkan penugasannya dihadapan rakyat. Indikator bagi representator adalah kemampuan mereka membawa kehendak rakyat dan konsensus rakyat menjadi keputusan pada proses regulasi penataan ruang. Proses demokratik ini dapat di laksanakan dengan menggunakan sruktur yang sudah ada di masyarakat sesuai tingkatannya. Prosesnya dapat dianalogikan sebagai berikut ; masyarakat yang terintegrasi dalam struktur terkecil yaitu Rukun tetangga / RT melakukan rapat untuk memutuskan apa yang di inginkan masyarakatnya mengenai penataan ruang dan menentukasn representatifnya di rapat tingkatan RW, begitupun selanjutnya sampai ke tingkatan kota / kabupaten. Hasil rapat atau keputusan di tiap tingkatan harus disosialisasikan oleh representator kepada konstituen mereka di setiap tingkatan. Proses demokratik ini akan melibatkan masyarakat secara penuh sehingga kegiatan penataan ruang kota akan menjadi proses integral dari masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya, hal kedua adalah mengembalikan posisi kaum intelektual dan LSM/ORNOP pada posisinya yaitu sebagai stakeholder pendukung dan meminimalisir keterlibatan mereka dalam proses regulasi dan ditempatkan hanya sebagai advisor yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk memberikan pertimbangan ilmiah terhadap penataan ruang namun tidak memiliki hak untuk ikut mengambil keputusan. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan partisipasi rakyat dan meminimalisir dominasi pengetahuan mereka yang seringkali membelokkan proses regulasi penataan ruang karena tendensi mereka yang secara struktural lebih dekat terhadap kekuasaan dan pengusaha dibandingkan masyarakat. Kelompok ini saat ini memiliki legitimasi melebihi komposisi seharusnya bahkan diangga sebagai representasi masyarakat yang akhirnya mereka mendapatkan keuntungan dari kompromi-kompromi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha. Kelompok ini juga yang seringkali membelokkan masalah fungsi penataan ruang bagi interaksi manusia menjadi sebatas estetika yang tidak tepat guna.
Kemudian, hal ketiga adalah membatasi peran pengusaha dengan legitimasi keputusan konsensus rakyat, dalam hal ini pembangunan dan masuknya modal hanya dapat diterima jika rakyat memang membutuhkannya dan jika rakyat tiak membutuhkannya maka pembangunan dan masuknya modal dari pengusaha harus dibatasi atau di tolak sama sekali.
Dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan dan mengabdi kepada masyarakat, pemerintah haruslah berposisi di pihak rakyat dalam regulasi penataan ruang. Pemerintah harus menjamin keterlibatan mayarakat secara penuh dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. Rakyat dalam hal ini harus juga terorganisir dengan baik dan memiliki kemampuan pressure politik jika proses regulasi mulai melenceng dari jalurnya.

*Sekretaris Wilayah LMND Jawa Barat