Jumat, September 19, 2008

Memandang kembali gerakan mahasiswa

Oleh: Agus Susanto

Sejak mahasiswa memapankan dirinya sebagai agen perubah dengan alatnya: gerakan mahasiswa. Mahasiswa belum mampu untuk melepaskan dirinya dari mitos tentang peran dan posisi sosial mereka. Hampir semua gerakan mahasiswa paska orde lama muncul akibat dari dorongan atas keyainan terhadap peranan sosial mereka. Namun bukannya berhasil untuk menunjukan kebenaran mitos tersebut, gerakan mahasiswa justru menjadi “alat negara” untuk menghegemoni rakyat. Negara sebagai pihak yang memiliki kekuasaan justru memberi ruang bagi mahasiswa untuk menjalankan peran yang dimitoskan, tidak pernah dan tidak akan diperbolehkan keluar dari mitos tersebut, sehingga rakyat dan mahasiswa semakin meyakini mitos tersebut. Namun semua itu menyebabkan mahasiswa semakin tidak mampu mengidenfikasikan peranan dan posisi sosial mereka.


Bahwa mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan sosial-politik dalam negeri merupakan sebuah perndapat yang sudah dianggap sebagai kebenaran dan kemudian diamini oleh hampir semua kalangan. Berbagai peristiwa sejarah telah menjadi “saksi” dari peran pening mahasiswa ini. Para elit politik di negara-negara dunia ketiga tidak pernah lupa untuk melibatkan mahasiswa dalam proses-proses pengambilan kebijakan negara, meskipun pelibatan ini jarang dilakukan secara formal namun ketelibatan ini tidak bisa dipungkiri terutama untuk kebijakan yang merupakan isu yang mudah dijadikan komoditas politik. Sejak seseorang masuk dalam sebuah institusi pendidikan tinggi, mereka disambut oleh proses yang mebuat mereka yakin tentang betapa pentingnya peran mereka untuk bangsa ini, bahwa mereka mempunyai tugas khusus yang disandangnya sejak mereka menerima gelar sebagai mahasiswa.

Peranan yang sudah dianggap kebenaran oleh asyarakat masih layak untuk dievaluasi ulang, karena toh “kebenaran umum” belum tentu merupakan Kebenaran. Kebenaran umum seringkali merupakan sekedar kepercayaan belaka yang tidak memiliki dasar apapun untuk dianggap sebagai kebenaran. Sebagaimana dengan proses yang dialami kelompok lain dalam masyarakat, peran mahasiswapun merupakan hasil dari proses dialektika dari kondisi sosial yang melingkupinya dan kehendak subyektif dari pelakunya. Oleh karena itu marilah kita menglihatnya kembali dari kedua aspek tersebut.

Tentang Mahasiswa

Siapakah mahasiswa? Sejak kapankah mahasiswa memainkan perannya dalam perubahan politik? Mungkin pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah, dengan menyatakan bahwa mahasiswa muncul bersamaan dengan munculnya pendidikan tinggi di Indonesia, lebih tepatnya pada masa Hindia Belanda, dan peranan mahaiswa merupakan “anugrah” yang diperoleh akibat posisi seseorang sebagai mahasiswa, bahwa peranan itu melekat dalam identitas mahasiswa. Hal ini seringkali menajdi keyakinan di dalam diri mahasiswa. Dalam kenyataannya identitas dan peranan mahasiswa tidaklah muncul bersamaan dengan munculnya pendidikan di Indonesia. Mahasiswa, baik nama maupun peranan politiknya muncul dan membesar bersamaan dengan tahun-tahun berakhirnya orde lama. Pada tahun-tahun itulah baik nama maupun ide tentang peranan mahasiswa mulai terbentuk. Daan pada saat yang sama kekuatan mahasiswa mulai mengeksklusifkan dirinya dari masyarakat, mahasiswa yang sebelumnya merupakan bagian dari kelompok yang disebut sebagai pemuda. Proses perubahan (pengeksklusifan) ini ditangkap dengan baik oleh Lombard dalam kajiannya tentang perubahan sosio-budaya di Indonesia. Proses tersebut dideskripsikan olehnya sebagai berikut:

…[S]ejak 1960-an, kata pemuda mulai menghilang sedikit demi sedikit dalam pembicaraan politik dan digantikan oleh kata mahasiswa. Kenyataan tersebut tampak jelas ketika dalam konflik-konflik 1965-1967, anak-anak muda dari kalangan berada yang belajar di universitas-universitas, khususnya yang di Bandung, makin jelas di mata pendapat umum dan penguasa sebagai “kelompok fungsional” yang relatif kuat…[meskipun] realitas yang dicakup mahasiswa mungkin sangat terbatas—karena hanya sebagian kecil pemuda yang memiliki kesempatan untuk masuk universitas.

Aksi-aksi yang bermunculan pada perode konflik itulah yang berjasa dalam membesarkan nama mahasiswa. Meskipun demikian, mahasiswa paska gerakan ’66 selalu mereferensikan diri kepada peristiwa-peristiwa bersejarah pada masa sebelumnya. Peristiwa-peristiwa bersesejarah ini sering kali digunakan sebagai sumber legitimasi dari gerakan yang dibangun oleh mahasiswa, sebuah legitimasi bahwa mereka adala agen perubah—agent of social change. Peristiwa sejarah yang dimaksud adalah peristiwa kebangkitan tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Kedua peristiwa ini sebenarnya adalah proses perjuangan yang dimotori oleh pemuda, bukan saja oleh kelompok mahasiswa—golongan termasuk dalam himpunan pemuda—secara ekslusif. Sebuah perjuangan yang dimulai dari munculnya kesadaran “identitas bangsa” sampai kepada perjuangan fisik. Sehingga proses menuju revolusi kemerdekaan tersebut sebenarnya merupakan “Revolusi Pemuda” bukan Revolusi Mahasiswa.
Selanjutnya setelah tahun 1965, para mahasiswa semakin terbuai dengan persepsi bahwa dirinya adalah seorang agent of social change. Konsepsi ini sebenarnya juga direstui oleh orde-orde yang berkuasa karena mereka tahu bahwa ada paradoks yang terbentuk dalam gagasan tersebut dengan kenyataan gerakan yang dibangun oleh mahasiswa. Secara sosiologis, agent of social change memiliki dua aspek yaitu adanya agen aktif perubahan (agent of change) dan proses perubahan sosial (social change). Menurut Selo Soemadjan perubahan sosial berarti segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyaratan (social institutions) di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalm masyarakat. Sementara agen perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang kemudian berfungsi untuk memimpin masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Disini terlihat jelas bahwa ada dua aspek yang dapat menunjukan keberadaan agent of social change yaitu keberadaan perencanaan dari perubahan sosial tersebut dan kebersatuan dengan masyarakat dalam proses perubahan tersebut. Kenyataan dalam gerakan-gerakan mahasiswa yang terbangun selama ini tidak menunjukan indikasi keberadaan kedua aspek tersebut. Gerakan mahasiswa selama ini lebih merupakan gerakan “moral” untuk mengkritik penguasa daripada sebuah gerakan sosial politik yang mempunyai konsep tentang perubahan sosial yang terarah. Sehingga pada akhirnya peran sebagai agent of social change ini tidak lebih dari sekedar mitos belaka. Suryadi pada tahun 1991 oenah mengingatkan bahwa:

[M]ahasiswa tetap terpanggil buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga ”peran sosial” yang dipersepsikan mahasiswa tetap hadir dalam diskursus-diskursus politik. Jadi, singkatnya, yang terjadi pada tingkat gagasan adalah adanya pertarungan antara peran yang diinginkan Negara dengan peran yang diinginkan mahasiswa. Yang disebut terakhir ini sering dipersepsikan secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga menjadi legenda, yakni bahwa mahasiswa adalah agent of social change…walaupun demikian gagasan itupun tidak pernah “dimenangkan” oleh mahasiswa.


Disisi lain, pemakaian nama mahasiswa semakin menunjukan usaha kaum elit terpelajar ini untuk memisahkan diri dan menciptakan kelas yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Kata mahasiswa terdiri dari kata siswa yang mendapat awalan maha. Maha sendiri menunjukan sebuah kondisi ketakhinggaan, sebuah kondisi yang tidak dapat dijangkau oleh sifat-sifat yang biasa, menunjukan sebuah ketakterjangkauan. Dengan memakai identitas mahasiswa, kelompok terpelajar ini sudah mengambil jarak dari rakyat dan seolah-olah mengatakan bahwa kami tidak mungkin terjangkau (dengan mudah) oleh kalian (rakyat kebanyakan). Memang identitas mahasiswa ini menunjukan tingkat “kebangsawanan” mereka, sebuah penegasan atas “tujuan pendidikan” yang dibangun pada jaman Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan mahasiswa merasa memiliki kelas tersendiri dalam masyarakat, meskipun dalam kenyataannya kelas yang terbangun itu cenderung semu karena seseorang hanya mempunyai kurun waktu yang pendek saat menjadi mahasiswa. Semua ini semakin memperkuat anggapan bahwa peran mahasiswa sebagai agent of social change tidak lebih hanyalah mitos.


Universitas

Universitas sebagai lembaga pendidikan memiliki pengaruh yang penting terhadap persepsi mahasiswa tentang dirinya. Secara sosiologis lembaga pendidikan merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu (enacted institutions). Tujuan dari lembaga pendidikan inilah yang secara sadar ataupun tidak sadar kemudian diimplantkan kepada mahsiswa. Tujuan dari lembaga pendidikan dapat kita evaluasi dari sejarah pembentukan asosiasi lembaganya sendiri. Sekolah pertama kali di Indonesia (Hindia Belanda) dibangun berdasarkan atas kebutuhan sumber daya manusia untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam negeri. Jabatan-jabatan politik yang sebelumnya diperoleh melalui hubungan pertalian darah, selanjutnya harus melalui sebuah institusi yang disebut dengan sekolah.

Untuk selanjutnya para bupati diangkat oleh Batavia…Mereka tidak lagi tampil sebagai pembesar, tetapi lebih sebagai pegawai pemerintah...[Karena] Pendidikan tradisional para priyayi sudah tidak memungkinkan lagi untuk membentuk calon bupati, sehingga pemerintah Batavia merasa perlu mendirikan sekolah-sekolah khusus, yang disediakan hanya untuk putra-putra para kepala.

Sekolah selanjutnya merupakan institusi penganti institusi tradisional kebangsawanan dengan kata lain sekolah sebenarnya merupakan sebuah “institusi kebangsawanan”. Kondisi ini masih berlaku sampai masa sekarang dimana gelar kesarjanaan sangat dihargai di Indonesia, sangat mirip dengan gelar bangsawan.
Pada tahun-tahun selanjutnya, seiring dengan dijalankannnya politik etis dan pembangunan industri di Hindia Belanda, mulailah dibangun sekolah sekolah untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan tenaga ahli dalam industri. Karakter dan tujuan penddikan yang terbentuk pada masa Hindia Belanda itu selanjutnya diwarisi oleh lembaga pendidikan saat Indonesia merdeka.


Gerakan mahasiwa

Gerakan mahasiswa dipengaruhi oleh proses interaksi antara sebuah konsep tak sadar tentang posisi dirinya yang diturunkan melalui lembaga pendidikan, yaitu sebagai calon pengisi jabatan politik dan ekonomi, dengan konsep yang diperoleh dari pemitosan dirinya sebagai agent of social change. Kedua aspek ini kemudian saling berdilektika dalam perjalanan gerakan mahasiswa ini. Aspek tak sadar yang menjadi motif pendorong seringkali lebih kuat dibandingkan aspek konsep yang cenderung bersifat mitos dan paradoks dengan dirinya sendiri. Keinginan untuk memposisikan diri dalam kekuasaan politik dan ekonomilah yang sebenarnya merupakan dasar dorongan utama atas gerakan-gerakan mahasiswa. Pada sistem otoriter dan korup, jalur untuk menduduki jabatan-jabatan penting secara politik dan ekonomi telah dihalangi oleh sistem itu sendiri. Hanya orang-orang yang direstui oleh pengusa, dalam hal ini bisa berupa orang yang memiliki kedekatan dengan pengusa atau memiliki uang yang cukup untuk “membeli” pejabat yang korup, yang dapat mengakses jabatan-jabatan tersebut. Ketiadaan akses inilah yang menghalangi mahasiswa untuk memmenuhi “takdirnya” sehingga ketiadaan akses ini harus dilawan demi “takdir” mereka sendiri. Sehingga bukanlah suatu hal yang aneh jika dalam banyak kasus gerakan mahasiswa lebih digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan baik dalam ranah ekonomi maupun politik.
Kedua aspek yang bergulat dalam diri mahasiswa ini juga yang dipergunakan oleh penguasa sebuah orde untuk meredam gerakan rakyat, gerakan mahasiswa dipergunakan sebagai alat hegemoni oleh penguasa. Dengan mengamini mitos bahwa mahasiswa adalah agent of social change, dan mempropangandakannya ke masyarakat, maka pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan gerakan-gerakan di rakyat. Karena dengan memposisikan mahasiswa sebagai agen perubah maka rakyat akan dengan sukarela “menyerahkan nasibnya” untuk diperjuangankan oleh mahasiswa sehingga gerakan-gerakan rakyat akan jauh berkurang dan lebih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan sebagaimana kita tahu gerakan mahasiswa lebih mudah dipatahakan. Oleh karena itu selama konsepsi agent of change ini masih kuat melekat di mahasiswa dan rakyat maka gerakan mahasiswa akan selalu menjadi alat negara untuk meninabobokan rakyat.

Sedikit Refleksi

Kegagalan yang berulang kali terjadi pada gerakan mahasiswa (dalam melakukan perubahan sosial) merupakan konsekuensi logis dari kesalahan memposisikan gerkan mahasiswa tersebut di ranah perubahan sosial. Meskipun demikian kesalahan ini bukanlah mutlak kesalahan dari para penggiat gerakan mahasiswa tersebut. Kegagalan-kegagalan ini muncul karena dilema yang muncul dari kedua aspek yang sudah dibicakan sebelumnnya. Selain itu posisi mahasiswa dalam struktur kelas tidak penah memiliki sebuah kejelasan, kalaupun ada sebuah posisi dalam struktur kelas, posisi itupun tidak lebih dari sebuah posisi yang semu karena penetapan posisi ini tidak melalui penganalisaan terhadap relasi-relasi ekonomi dan politik mahasiswa. Kelas tersebut bersifat semu karena semuanya hanya permainan gagasan yang abstrak dengan melupakan basis meterial tempat kelas tersebut hidup. Kelas yang semu ini pun tidak lepas hegemoni penguasa. Penyebab dari kekaburan kelas ini adalah sulitnya melihat relasi-relasi ekonomi dan politik mahasiswa secara jelas.

Ada paradoks dalam batas-batas lokasi kelas dari mahasiswa. Di satu pihak mereka tidak terlibat dalam proses produksi sehingga mereka tidak layak disebut sebagai kelas pekerja. Namun disisi lain mereka hidup dalam lembaga reproduksi kapitalis, universitas, yang memiliki potensi untuk menadi pekerja atuapun kaum borjuis…mahasiswa berada dalam fase pra-kelas dimana mahasiswa merupakan kelompik sosial yang berada pada tahap persiapan kelas khusus, yakni semacam jalur yang berkaitan dengan karier dan profesi di masa depan.

Selanjutnya untuk menghindari kegagalan-kegagalan yang sama lagi mahasiswa harus mengambil pilihan. Jika memang ingin menjadi agen of social change maka mahasiswa harus menetapkan posisinya bahwa mereka harus bergabaung dengan rakyat dan menjalankan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk perubahan sosial yang terarah. Dengan tegas mengambil posisi bersama rakyat bukannya mengekslusifkan diri terhadap rakyat maka mahasiswa dapat merentas jalan untuk mengusung perubahan sosial untuk rakyat. Selain itu reformasi pendidikan mutlak dibutuhkan, tinggalkan semua warisan karater pendidikan dari kolonial belanda ciptakan pendidikan yang membebaskan. Atau mahasiswa mahasiswa memilih untuk mejadi intelektual murni yang tidak berkutat dengan tetek bengek perubahan sosial. Menjadi kalis dari kehidupan nyata dan hidup dalam angan-angan keilmuannya. Atau menggunakan pilihan terahrir, dengan menyatakan secara terbuka kesediaanya untuk digunakan sebagai alat hegemoni negara, dengan cara mempertahankan konsepsi kosong yang hanyalah sebuah mitos.

Ketua LMND Jawa Barat

3 komentar:

Anonim mengatakan...

"Jangan menganggap diri kita lebih tahu diantara yang lain" Mahasiswa adalah wujud dari sebuah transisi. Transisi antara menjadi borjuis, birokrat atau bahkan proletar sekalipun.

Ibarat preman yang menggunakan logika penghianatan. Mereka akan membela siapa saja yang bayar. Mahasiswa tidak lebih dari itu. Ketika diberi kesempatan menjadi borjuis maka akan bertingkah laku sebagai borjuis. Demikian juga mereka ketika menjadi Birokrat, maka mereka akan berlaku sebagai birokrat. Apabila mereka masuk dalam kelas proletar maka mereka akan sadar kalau diri mereka tak mampu menjadi borjuis atau birokrat.

Hanya satu yang menjadi landasan sebuah perjuangan, yaitu pengabdian terhadap kaum tertindas. Berjuang bersama mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni menghapus segala bentuk penindasan atas hak-hak warga negara.

Arah Perjuangan Jawa Barat mengatakan...

salam..
trima kasih nasihatnya bung pudiarna
anda seharusnya membaca artikel kami dengan lebih teliti mengenai posisi mahasiswa, kami hanya memahami damn mendeskripsikan posisi mahasiswa secara ilmiah dan historis maaf jika kami memang lebih tahu dari yang lain.
transisi yang anda maksudkan pun itu maksudnya transisi apa?
perjuangan melawan penindasan menuju terbentuknya tatanan masyarakat baru yang tidak sekedar post capital tapi murni sosialisme itulah tujuan kami sedangkan yang anda maksudkan dengan pengabdian terhadap kaum tertindas itu fokusnya apa?
kapitalisme menindas segalanya bung

Comradely
LMND Jabar

Unknown mengatakan...

met sore

maaf...tadi saya sempet search dan cari2 tulisan ttg mahasiswa sampai sampai menemukan tulisan di Blog ini..

pertama-tama saya teringat dengan seorang teman di Bandung (namanya sonny),yang pernah mengatakan: "mahasiswa ketika selamanya berteriak agent of change tapi tidak pernah mau bersentuhan dengan rakyat (kalau bahasa temanku turun dan membantu rakyat miskin) maka di a akan terus menjadi satu gerakan ompong doang...agak lama gua tertegun..sampai kemudian gua menemukan tulisan dari saudara Agus ini,yang menurutku cukup menarik sebagai pengantar tentang gerakan mahasiswa...terutama berangkat dari sejarah dan kondisi realitasnya saat ini...cukup berbobot dan mang yang saya tau (dari kawan saya itu) dia selalu bercerita LMND sampai saat ini tetap memimpin..dalam hal teori dan analisanya serta politiknya...sekarang gua pengen nanya awalnya sama temanku...(berhubung dia lagi sulit dihubungi) mungkin saya bisa membawanya kesini:

1. apa pendapat kawan-kawan (LMND) soal gerakan mahasiswa?
2. gimana dengan caleg2 dari mahasiswa ikut berperan dalam partai/? (cuma yang sempet menjadi perdebatan dengan kawanku itu adalah..gua gak sepakat dengan mahasiswa dengan partai sedangkan kawanku melihat adalah perjuangannya itu harus 2 tahap dari luar dan dalam parlemen dan kendaraannya adalah partai..dia menunjuk PRD sebagai salah satu alternatif...sekali lagi ini kata kawanku)
3. prospek gerakan mahasiswa ke depan dihubunkan dengan krisis global saat ini?


maaf yach kalau banyak nanya...


Adit..